Daftar Blog Saya

Senin, 25 Juli 2011

Kejang demam

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul akibat kenaikan suhu tubuh. “Kejang demam ialah bangkitan kejang yg terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Hasan, 1995).
Banyak pernyataan yang dikemukakan mengenai kejang demam, salah satu diantaranya adalah : “Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).

2. Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan
Seperti yang dikemukakan Syaifuddin (1997), bahwa system saraf terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater.
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :
a. Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri inilah yang disebut sebagai ganglia basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik. Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya proses-proses patologik ekstrakranium.
3) Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirim ke cortex cerebri.
b. Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang :
1) N. I : Nervus Olfaktorius
2) N. II : Nervus Optikus
3) N. III : Nervus Okulamotorius
4) N. IV : Nervus Troklearis
5) N. V : Nervus Trigeminus
6) N. VI : Nervus Abducen
7) N. VII : Nervus Fasialis
8) N. VIII : Nervus Akustikus
9) N. IX : Nervus Glossofaringeus
10) N. X : Nervus Vagus
11) N. XI : Nervus Accesorius
12) N. XII : Nervus Hipoglosus.
System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis dan parasimpatis.
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :
1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya
2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus symphatis
3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :
Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis:
1. Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak
2. Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.
3. Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan Pasti, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia (penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia, alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus pencetusnya dihilangkan (Corwin, 2001).
4. Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida. Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat dirubah dengan adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
b. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Kejang demam

Inflamasi
Infeksi

Peningkatan suhu tubuh

Metabolisme basal meningkat
Kebutuhan O2 meningkat

Glukosa ke otak menurun

Perubahan konsentrasi dan jenis ion
di dalam dan di luar sel

Difusi ion Na+ dan K+

Kejang

Durasi pendek Durasi lama

Sembuh Apnea


O2 menurun

Kebutuhan O2 meningkat

Hipoxemia

Aktivitas otot meningkat

Hipoxia

Permeabilitas meningkat

Edema otak

Kerusakan sel neuron otak

Epilepsi

5. Tanda dan Gejala
Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data antara lain klien kurang selera makan (anoreksia), klien tampak gelisah, badan klien panas dan berkeringat, mukosa bibir kering (Ngastiyah, 1997).
6. Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula – mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang demam :
a. Pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental


7. Penatalaksanaan / Pengobatan
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a. Memberantas kejang secepat mungkin
Bila penderita datang dalam keadaan status convulsion, obat pilihan utama adalah diazepam secara intravena. Apabila diazepam tidak tersedia dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus.
b. Pengobatan Penunjang
Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas agar oksigen terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan pengobatan ditambah dengan pemberian oksigen. Tanda – tanda vital diobservasi secara ketat, cairan intravena diberikan dengan monitoring.
c. Pengobatan di rumah
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah. Pengobatan ini dibagi atas 2 golongan yaitu :
1) Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari diberikan obat campuran anti konvulsan dan anti piretik yang harus diberikan pada anak bila menderita demam lagi
2) Profilaksis jangka panjang
Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari.
d. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun epilepsy yang diprovokasi oleh demam, biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan untuk mengumpulkan data serta menganalisa data sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan klien (Gaffar, 1997). Dalam upaya pengumpulan data sebagai langkah awal dari proses keperawatan penulis melakukan pengkajian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan yang dilakukan dalam pengkajian adalah pengumpulan data dan merumuskan prioritas masalah. Sedangkan tujuan dari pengkajian keperawatan adalah mengumpulkan data–data, mengelompokkan dan menganalisa data sehingga ditemukan diagnosa keperawatan (Gaffar, 1997).
Tahapan pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat dan lengkap sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan sesuai dengan respon individu sebagaimana yang ditentukan dalam standar praktek keperawatan dari American Nursing Association.
Pengkajian keperawatan data dasar yang komprehensif adalah kumpulan data yang berisikan mengenai status kesehatan klien untuk mengelola kesehatan terhadap dirinya sendiri dan hasil konsultasi dari medis (terapis) atau profesi kesehatan lainnya (Taylor, Lilis Le Mone, 1997).
Berdasarkan sumber data, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari klien, yaitu data tersebut diperoleh dari klien yang sadar maupun klien tidak sadar sehingga tidak dapat berkomunikasi misalnya data tentang kebersihan diri atau data tentang kesadaran. Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari klien, seperti dari perawat, dokter, catatan perawat, serta dari pemeriksaan seperti pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan diagnostik lainnya, dari keluarga atau dari kerabat dekat.
Secara umum ada beberapa cara pengumpulan data dengan observasi, konsultasi, validasi data, anamnesa, pemeriksaan fisik, observasi adalah pengumpulan data melalui hasil pengamatan (melihat, meraba atau mendengarkan) tentang kondisi klien dalam kerangka asuhan keperawatan.
Konsultasi adalah seorang spesialis diminta untuk mengidentifikasikan cara–cara untuk pengobatan dan penanganan penyakit klien.
Anamnesa atau wawancara adalah cara pengumpulan data melalui inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Inspeksi adalah pengamatan secara seksama terhadap status kesehatan klien, seperti inspeksi kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan, inspeksi adanya lesi pada kulit dan sebagainya.
Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mengetukkan jari tengah kejari tengah yang lainnya untuk normal atau tidaknya suatu organ tubuh.
Palpasi adalah jenis pemeriksaan fisik dengan cara meraba klien seperti lokasi pada rongga abdomen untuk mengetahui lokasi nyeri atau untuk mengetahui adanya massa.
Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop, misalnya auskultasi dinding abdomen untuk mengetahui bising usus, mendengarkan suara paru – paru, bunyi jantung.
Adapun pengkajian untuk mengumpulkan data–data yang akurat terhadap Kejang Demam yaitu dimulai dengan anamnesa kepada klien dan
keluarga kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.



Hal – hal yang perlu dikaji antara lain :
a. Identitas pasien dan keluarga
1) Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa dan alamat
2) Nama Ayah (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa
3) Nama Ibu (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa.
b. Kesehatan fisik
1) Pola nutrisi
Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi sebelum sakit, porsi makan sehari – hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa, frekuensi makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.
2) Pola eliminasi
3) Pola tidur
Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan lamanya tidur serta kebiasaan sebelum tidur
4) Pola hygiene tubuh
Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong kuku dan rambut
5) Pola aktifitas
Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.
c. Riwayat kesehatan yang lalu
1) Riwayat prenatal
Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan kehamilan, keluhan ibu saat hamil, kelainan kehamilan dan obat – obatan yang diminum saat hamil.

2) Riwayat kelahiran
Kelahiran spontan atau dengan bantuan – bantuan, aterm atau premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir, panjang badan, ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.
3) Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi
Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa, pernahkah menderita penyakit yang gawat.
Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada keluarga yang pernah menderita kejang.
4) Tumbuh kembang
Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan sosial.
5) Imunisasi
Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa alasannya.
d. Riwayat penyakit sekarang
1) Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul setelah 24 jam pertama setelah demam
2) Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu badan meningkat
3) Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan dan apabila pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan untuk mengatasi kejang.
4) Riwayat sosial ekonomi keluarga
Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya.

5) Riwayat psikologis
Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi.
e. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar kepala
2) Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38 C, nadi cepat, pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis)
3) Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise
4) Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit
5) Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut serta kebersihannya
6) Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra
7) Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media Akut / Kronis
8) Hidung umumnya tidak ada kelainan
9) Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis
10) Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada
11) Paru – paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan
12) Jantung : Umumnya normal
13) Abdomen : Mual – mual dan muntah
14) Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak
15) Ekstremitas : Ada kelainan / tidak.
Setelah selesai mengumpulkan data maka selanjutnya data tersebut dikelompokkan. Pengelompokan data dapat dibagi atas data dasar dan data khusus (Carpenito, 1997). Data dasar terdiri dari data fisiologis, data psikologis, data sosial dan spiritual. Sedangkan data khusus adalah data yang bersifat khusus, misalnya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen dan sebagainya.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual atau rester / resti (Gaffar, 1997). Pada tahap diagnosa keperawatan penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari hasil pengkajian dan mengidentifikasi masalah keperawatan, baik yang dapat dicegah, dapat dikurangi maupun yang dapat ditanggulangi dengan tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan dibagi sesuai dengan masalah kesehatan klien yaitu :
a. Aktual, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan masalah yang nyata saat ini dengan data klinis yang ditemukan.
b. Rester, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah kesehatan yang nyata yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi keperawatan, saat ini masalah belum ada tetapi etiologi sudah ada.
c. Possible, yaitu diagnosa keperawatan yang timbul akibat adanya tambahan masalah
Komponen – komponen berikut ini menandai tiga bagian pernyataan perubahan keperawatan
a. Diagnosa keperawatan, merupakan pernyataan yang menggambarkan perubahan status kesehatan klien. Perubahan–perubahan menyebabkan masalah dan perubahan yang tidak menguntungkan pada kemampuan klien untuk berfungsi. Diagnosa keperawatan adalah frase atau pernyataan yang ringkas, diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk membuat kriteria hasil asuhan keperawatan dan menentukan intervensi – intervensi yang diperlukan untuk mencapai kriteria hasil.
b. Etiologi, pernyataan etiologi mencerminkan penyebab masalah klien yang menimbulkan perubahan–perubahan pada status kesehatan klien. Penyebab tersebut dapat berhubungan dengan tingkah laku klien, patofisiologi, psikososial, perubahan–perubahan situasional pada gaya hidup, usia perkembangan, faktor budaya dan lingkungan. Diagnosa keperawatan dapat diterapkan untuk semua area keperawatan, seperti medikal bedah, kesehatan ibu dan anak, pediatrik, kesehatan komunitas.
Batasan karakteristik, merupakan kelompok petunjuk klinis yang menggambarkan tingkah laku, tanda dan gejala yang menggambarkan diagnosa keperawatan. Batasan karakteristik diperoleh selama tahap pengkajian, memberikan bukti bahwa ada masalah kesehatan gejala (data subjektif) adalah perubahan yang dirasakan oleh klien dan diekspresikan secara verbal kepada perawat. Tanda (data objektif) adalah perubahan yang diamati pada status kesehatan klien. Identifikasi minimal tiga tanda dan gejala sebagai bukti yang cukup untuk mendukung pemilihan diagnosa keperawatan .
Adapun masalah keperawatan pada klien dengan kasus Febrile Convulsion menurut Ngastiyah (19997) adalah :
a. Resiko tinggi terhadap kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang
b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata, proses infeksi
c. Resiko terjadi bahaya / komplikasi berhubungan dengan aktifitas kejang
d. Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan tindakan invasif, prosedur tindakan
e. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi.
Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan pada Febrile Convulsion adalah :
a. Resiko terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
b. Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-rata, proses infeksi
d. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Sedangkan menurut Carpenito (1990), diagnosa keperawatan yang terdapat pada kasus Febrile Convulsion adalah :
a. Resiko tinggi tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan relaksasi lidah, sekunder terhadap gangguan inversi otot
b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata, proses infeksi.
3. Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap yang paling penting yang dibuat setelah merumuskan diagnosa keperawatan. Tujuan perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien, sehingga tercapai kondisi kesehatan klien yang optimal (Gaffar, 1997).
Pada tahap perencanaan setelah memprioritaskan masalah keperawatn, penulis menetapkan tujuan dan kriteria tindakan yang dapat mencegah, mengurangi dan menanggulangi masalah kesehatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan klien saat ini serta menuliskan tujuan yang ditetapkan harus nyata, dapat diukur dan mempunyai batasan waktu pencapaian.
Adapun komponen tahap perencanaan adalah :
Membuat prioritas urutan diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan diurutkan dengan prioritas tinggi, sedang, ringan masalah dengan prioritas tinggi mencerminkan situasi yang mengancam hidup (misalnya bersihan jalan nafas). Masalah dengan prioritas rendah tidak berhubungan secara langsung dengan keadaan sakit atau prognosis yang spesifik (misalnya masalah keuangan). Masalah dengan prioritas tingi membutuhkan perhatian yang cepat dibandingkan dengan prioritas rendah.
Hirarki kebutuhan Maslow (1968) membantu perawat untuk memprioritaskan urutan diagnosa keperawatan, kerangka hirarki ini termasuk kebutuhan fisiologis dan psikologis. Lima tingkatan hirarki ini adalah fisikologis, keselamatan dan keamanan, mencintai dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri.
Adapun rencana tindakan pada kasus Febrile Convulsion menurut Doenges (2002), yaitu :
1. Diagnosa keperawatan I
Resiko tinggi terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
Tujuan dan kriteria hasil :
Henti nafas dan trauma tidak terjadi dengan kriteria :
 Menunjukkan efektifitas pernafasan selama kejang dan sesudahnya
 Tidak terdapat tanda injuri, perlukaan di seluruh organ tubuh
Rencana Tindakan :
1.1 Gali bersama-sama keluarga berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang
Rasional : Mengetahui dan dapat menanggulangi sedini mungkin komplikasi yang dapat terjadi
1.2 Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur rendah
Rasional : mengurangi trauma saat kejang selama berada di tempat tidur
1.3 Gunakan termometer dengan bahan metal atau dapatkan suhu melalui lubang telinga jika perlu
Rasional : mengurangi resiko klien menggigit dan cedera mulut
1.4 Tinggallah bersama klien dan keluarga dalam waktu beberapa lama / setelah kejang
Rasional : Meningkatkan rasa aman keluarga, mengobservasi gejala lanjut
1.5 Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik. Miringkan kepala ke salah satu sisi dan lakukan suction pada jalan nafas sesuia indikasi
Rasional : Memfasilitasi ekspansi dada maksimal, drainage sekret, dan memfasilitasi saat melakukan suction
1.6 Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau bantu meletakkan pada lantai jika keluar dari tempat tidur
Rasional : Menurunkan resiko cedera
2. Diagnosa keperawatan II
Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
Tujuan dan kriteria hasil :
Pola nafas efektif yang ditunjukkan dengan frekuensi nafas dalam batas normal, jalan nafas bersih
Rencana Tindakan :
2.1 Kosongkan mulut klien dari benda / zat makanan
Rasional : menurunkan resiko aspirasi
2.2 Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala, selama serangan kejang
Rasional : Meningkatkan aliran (drainage), sekret, mencegah lidah jatuh, dan menyumbat jalan nafas
2.3 Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen
Rasional : Memfasilitasi usaha bernafas dan ekspansi dada
2.4 Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau golongan benda lunak sesuai dengan indikasi
Rasional : Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan suction
2.5 Melakukan pengisapan (suction) sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan resiko aspirasi dan asfiksia
3. Diagnosa keperawatan III
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-rata, proses infeksi
Tujuan dan kriteria hasil :
Suhu tubuh dalam batas normal, yang ditunjukkan dengan mendemontrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan, tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
Rencana Tindakan :
3.1 Pantau suhu tubuh
Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis
3.2 Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan penggunaan seprai di tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal
3.3 Berikan kompres hangat
Rasional : Membantu menurunkan demam dengan efek vasodilatasi air hangat melalui proses evaporase
3.4 Kolaborasi : Berikan antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentranya pada hipotalamus meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme dan meningkatkan autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi.
4 Diagnosa keperawatan IV
Kurang pengetahuan (kurang belajar) mengenai kondisi, dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan persepsi
Tujuan dan kriteria hasil :
Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan berbagai rangsang yang dapat menyebabkan aktifitas kejang, dengan kriteria :
Keluarga dapat mengemukakan kondisi dan pengobatan secara sederhana.
Rencana Tindakan :
4.1 Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit
Rasional : Memberikan kesempatan mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang ada sesuai dengan yang ditangani
4.2 Tinjau kembali obat-obat yang didapat
Rasional : Tidak ada pemahaman terhadap obat-obatan yang dapat merupakan penyebab kecemasan keluarga

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah intervensi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, penugasan ketrampilan interpersonal, intelektual dan teknikal (Gaffar, 1997, 49).
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien vulnus scissum untuk memenuhi antara lain : mencegah infeksi, meningkatkan penyembuhan luka, meningkatkan kondisi kesehatan dan koping individu dan keluarga serta mencegah komplikasi cedera selanjutnya.
Tahap pelaksanaan merupakan bentuk tindakan untuk direncanakan sebelumnya dan disesuaikan dengan situasi secara cermat dan efisien. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan penulis menyesuaikan dengan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan klien saat itu, tidak semata – mata berdasarkan prioritas masalah yang direncanakan sebelumnya serta disesuaikan dengan waktu pelaksanaan tindakan. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan penulis juga melaksanakan tindakan observasi dan pengumpulan data untuk melihat perkembangan klien selanjutnya.
Komponen tahapan dalam menyusun implementasi :
a. Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa perintah dokter, tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktik American Nursing Association (1973), undang–undang praktik perawat negara bagian dan kebijakan institusi perawat kesehatan.
b. Tindakan keperawatan kolaboratif, diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah klien.
c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap tindakan keperawatan, dokumentasi merupakan pernyataan dari kejadian atau aktifitas yang otentik dengan mempertahankan catatan – catatan yang tertulis. Dokumentasi merupakan wahana untuk komunikasi dari salah satu profesional ke profesional lainnya tentang status klien. Dokumentasi klien memberikan bukti tindakan keperawatan mandiri dan kolaboratif yang diimplementasikan oleh perawat.
5. Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam meliputi pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak menunjukkan rasa nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan cairan terpenuhi seimbang, tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan pengatahuan orang tua bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
a. Pencapaian kriteria hasil
Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk pengukuran. Bila kriteria hasil telah dicapai, kata “ Sudah Teratasi “ dan datanya ditulis di rencana asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil belum tercapai, perawat mengkaji kembali klien dan merevisi rencana asuhan keperawatan.
b. Keefektifan tahap – tahap proses keperawatan
Faktor – faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat terjadi di seluruh proses keperawatan.
1) Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu.
2) Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua
3) Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap tiga
4) Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan tahap empat.
5) Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.






















DAFTAR PUSTAKA


Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta

Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta

Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta

Gaffar, La Ode Jumadi (1997), Pengantar Keperawatan Profesional, EGC, Jakarta

Hasan, Dr. Rusepno (1995), Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta

Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Pusponegoro, Titut S., dkk (2000) Perinatologi, EGC, Jakarta
Saifuddin (1997), Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, EGC, Jakarta
Susan Martin, dkk (1998), Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan, Diagnosa dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta

Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta

Minggu, 24 Juli 2011

HACK TSEL FLASH YANG KEHABISAN QUOTA


Dulunya saya memakai Modem Flexi dengan paket sekolah hanya Rp.30.000,- ,awalnya cepet tapi lama-lama jadi ngesot jalannya…(wadooh gmn y?),Nah…Pas lagi liat Televisi,ada iklan telkomsel flash. . .katanya si UNlimited.
Saya cari saja infonya di internet,bener si unlimited tapi di batesin kecepatanya,jadi sistemnya kek gini
diibaratkan
paket unlimited = mobil
dan kapasitas(yang 300MB,500MB,dll ) = itu NOS-nya
jadi jika NOS nya habis ,mobilnya tetp jalan tapi lebih pelan.pokoknya gitu lah ^^
untuk cek paket infonya silahkan ke http://www.telkomsel.com/product/telkomsel-flash/661-Paket-Telkomsel-Flash.html
nah,kembali ya( sedikit intermezzzoOo ^^)
selanjutnya , saya mencoba telkomselflash ,perdananya kira-kira Rp.65.000,-.
Saya gunakan HP NOKIA sebagai modem,dengan menggunakan software NOKiA Pc Suite(cari aja di google)
dan alhamdulillah koneksi lancar + ngebut . . . .
tetapi tadi malem di malem ke 3 ,koneksinya jadi Lola alias lama (saya berfikir mungkin hanya lagi perbaikan)
Pas Pagi tadi saya coba! masih lama juga,saya cek UL Info ,Ternyata benar 0 kb….NOS nya habis!! T.T
saya mulai Searching di google dengan koneksi yang kehabisan bensin untuk mempercepat koneksi Telkomsel Flash yang telah habis kuotanya,alhasil saya dapat nice info dari sebuah blog ,gini caranya:
Ubah settingan modem anda
Config Filename : im2
Dial Number : *99#
Username : indosatm2
Pasword : prabayar
APN : indosatm2
DNS pilih yang otomatis
PDP Tipe pake yang IP jangan CHAP
Loh kok Indosat kan Telkomsel??saya pertama juga kaget + kaga percaya ,Tetapi setelah di coba !!
Behhhh…….Ngacirrr………….^^
Selamat BerUtak-Utik!
MEMPERCEPAT IDM

tadi ane searching2 di Forum sebelah , ternyata ada trit “Cara setting IDM biar Bikin ngacir-cir”. nah buat kalian agan2 yang menggunakan download manager IDM, kadang belum benar-benar merasakan manfaat dari SW tsb, karena belum disetting dengan benar. Jika sudah diseting, IDM akan berfungsi optimal, meskipun kita gonta-ganti tipe koneksi (wive-LAN, WIFI, Dial-up, dll).
Nah bagemana caranya biar agan2 bisa merasakan manfaat ilmu yang ane dapet hingga bikin downloadan nte yang biasanya sejam berubah jadi 15 menit , jadi bisa hemat waktu gan !!
hhee
nih contohnya :

Pertannyaanya , Bagaiamana caranya Membuat IDM Download 3x Lebih Cepat alias Ngaciiir ?
Gini caranya:
1. klik IDM di try icon
2. klik Option
3. Pada Connection/ Speed, pilih Other, dan pada Default Max conn.number pilih 16
4. Tutup IDM
5. Klik Start kemudian run dan tuliskan “regedit” tanpa petik , kemudian klik ok , Jalankan Regedit>HKey_Current_User>Software>Download Manager> (lihat jendela kanan) Connection Speed>double click>pilih decimal> isi dengan 9999999999999>OK
6. tutup regedit (close )
7. Coba ntuk DL….winking
Catatan:
Kecepatan Download dipengaruhi juga oleh kondisi jaringan yg ada..

Laporan pendahuluan Askep pasien dengan gastroenteritis

A. Konsep Dasar Gastroenteritis

1. Definisi
Gastroenteritis (diare) merupakan suatu keadaan dimana frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali dan pada bayi lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah, atau lendir saja (Ngastiyah, 1997).

3. Etiologi
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor infeksi:
1) Bakteri; enteropathogenic escherichia coli, salmonella, shigella, yersinis enterocolitica, campylobacter.
2) Virus; enterovirus-echoviruses, adenovirus, human retrovirus seperti agent rota virus, astrovirus.
3) Jamur; candida enteritis.
4) Parasit : cacing (ascaris, trichuris, oxyuris, srongyloides), protozoa (entamoebahystolityca, giardialamblia).
5) Infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti otitis media akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun.
b. Faktor malabsorbsi
1) Malobsorbsi karbohidrat : disakarida (intolerensi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering intoleransi laktosa,
2) Malabsrobsi lemak.
3) Malabsorbsi protein.
c. Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
d. Faktor fsikologis
Rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar).




4. Patofisiologi
Menurunnya pemasukan/ hilangnya cairan akibat muntah, diare, demam, hiperpentilasi

Tiba-tiba dengan cepat cairan ekstraseluler hilang

Ketidak seimbangan elektrolit

Hilangnya cairan dalam intra seluler

Disfungsi seluler

Syok hipovolemik

Kematian

5. Tanda dan Gejala
a. cengeng
b. gelisah
c. suhu tubuh biasanya meningkat
d. nafsu makan berkurang atau tidak ada
e. diare, tinja cair, mungkin disertai lendir atau darah
f. muntah
g. dehidrasi

6. Komplikasi
a. Dehidrasi
Menurut banyaknya cairan yang hilang, Ashwill and Droske (1997) membagi dehidrasi atas:
1. Dehidrasi ringan; berat badan menurun 3%-5%, dengan volume cairan yang hilang kurang dari 50 ml/kg.
2. Dehidrasi sedang; berat badan menurun 6%-9%, dengan volume cairan yang hilang 50-90 ml/kg.
3. Dehidrasi berat; berat badan menurun lebih dari 10%, dengan volume cairan yang hilang sama dengan atau lebih dari 100 ml/kg.





Menurut tonisitas darah, dehidrasi dapat dibagi atas:
1) Dehidrasi isotonik, bila kadar Na dalam plasma antara 131-150 mEq/L.
2) Dehidrasi hipotonik, bila kadar Na plasma kurang dari 131 mEq/L.
3) Dehidrasi hipertonik, bila kadar Na plasma lebih dari 150 mEq/L

b. Syok hipovolemik
c. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardi, perubahan elektrokardiogram).
d. Hipokalsemia
e. Hiponatremia
f. Hipoglikemia
g. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa usus halus.
h. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
i. Malnutrisi energi protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan.
j. Asidosis.


7. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan tinja
1) Makroskopis dan mikroskopis.
2) Biakan kuman untuk mencari kuman penyebab.
3) Tes resistensi terhadap berbagai antibiotik.
4) pH dan kadar gula jika diduga ada sugar intolerance.
b. Pemeriksaan darah
1) Darah lengkap
Darah perifer lengkap, analisa gas darahdan elektrolit (terutama Na, Ca, K dan P serum pada diare yang disertai kejang), anemia (hipokronik, kadang-kadang nikrosiotik) dan dapat terjadi karena mal nutrisi/malabsrobsi tekana fungsi sumsum tulang (proses imflemasi kronis), peningkatan sel-sel darah putih.
2) Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah untuk mengetahui faal ginjal.
c. Pemeriksaan elektrolit tubuh.
Terutama kadar natrium, kalium, kalsium, bikarbonat terutama pada penderita diare yang mengalami muntah-muntah, pernapaan cepat dan dalam, kelemahan otot-otot, ilius paralitik.
d. Duodenal intubation untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif dan kualitatif terutama pada diare kronik.

8. Pengobatan
Dalam garis besarnya pengobatan diare dibagi dalam:
a. Pengobatan kausal
Pada penderita diare antibiotik hanya boleh diberikan kalau:
1) Ditemukan bakteri patogen pada pemeriksaan mikroskopik dan/atau biakan.
2) Pada pemeriksaan makroskopik dan/atau mikroskopik ditemukan darah pada tinja.
3) Secara klinis terdapat tanda-tanda yang menyokong adanya infeksi enteral.
4) Di daerah endemik kolera.
5) Pada neonatus jika diduga terjadi infeksi nasokomial.
b. Pengobatan simptomatik
1) Obat-obat anti diare.
2) Adsorbent.
3) Antiemetik.
4) Antipiretik.
c. Pengobatan cairan
Ada 2 jenis cairan, yaitu:
1) Cairan rehidrasi oral (CRO)
Ada beberapa macam cairan rehidrasi oral:
a) Cairan rehidrasi oral dengan formula lengkap mengandung NaCl, KCl, NaHCO3 dan glukosa penggantinya, yang dikenal dengan nama oralit.
b) Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung keempat komponen di atas, misalnya larutan gula-garam (LGG), larutan tepung beras-garam, air tajin, air kelapa, dan lain-lain caiaran yang tersedia di rumah, disebut CRO tidak lengkap.
2) Cairan rehidrasi parenteral (CRP)
Sebagai hasil rekomendasi Seminar Rehidrasi Nasional ke I s/d IV dan pertemuan ilmiah penelitian diare, Litbangkes (1982) digunakan cairan Ringer Laktat sebagai cairan rehidrasi parenteral tunggal untuk digunakan di Indonesia, dan cairan inilah yang sekarang terdapat di puskesmas-puskesmas dan di rumah-rumah sakit di Indonesia. Pada diare dengna penyakit penyerta (KKP< jantung, ginjal) cairan yang dianjurkan adalah Half Strength Darrow Glukose yaitu cairan Hartmann setengah dosis di dalam 2,5 % glukosa atau cairan Darrow setengah dosis di dalam glukosa 2,5%, karena keduanya mengandung natrium, kalium, klorida, laktat (basa), dan glukosa.
Kebutuhan cairan dapat dihitung sebagai berikut:
a) 24 jam pertama:
(1) Dehidrasi ringan; 180 ml/kg (sekitar 3 ¼ fl. oz per lb) per hari.
(2) Dehidrasi sedang; 220 ml per kg (sekitar 4 fl. oz per lb) per hari
(3) Dehidrasi berat; 260 ml per kg (sekitar 4 ¾ fl. oz per lb) per hari
b) Hari-hari berikutnya:

Kebutuhan normal sehari-hari adalah 140 ml per kg (sekitar 2,5 fl. oz per lb), ditambah dengan penggantian pengeluaran cairan, yang dihitung secara kasar lewat buang air besar atau lewat muntahnya. Semua cairan yang diberikan dalam berbagai cara diatas harus dicatat dan dijumlahkan sertiap hari.

d. Pengobatan diuretik
1) Untuk anak kurang dari 1 tahun dengan BB kurang dari 7 kg
Jenis makanan:
a) Susu (ASI/ susu formula yang mengandung laktosa rendah dan asam lemak tak jenuh misalnya; LLM, almiron.
b) Makanan setengah padat (bubur susu) atau makanan padat (nasi tim) bila anak tidak mau minum susu karena di rumah sudah biasa diberi makanan padat
c) Susu khusus yaitu susu yang tidak mengandung laktosa atau susu dengan asam lemak berantai sedang/tidak jenuh, sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
2) Untuk anak diatas 1 tahun dengan BB lebih dari 7 kg
Jenis makanan: makanan padat atau makanan cair/susu sesuai dengan kebiasaan makan di rumah.
e. Obat-obatan
Prinsif pengobatan diare ialah menggantikan yang hilang melalui tin ja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung beras dan sebagainya).


B. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gastroenteritis
1. Pengkajian
Adapun langkah-langkah dalam pengkajian adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data
1) Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan dan nama ortu.
2) Keluhan utama klien
Biasanya mengeluh berak-berak encer dengan atau tanpa adanya lendir dan darah sebanyak lebih dari 3 kali sehari, berwarna kehijau-hijauan dan berbau amis. Biasanya disertai muntah, tidak napsu makan dan mungkin ada demam ringan atau demam tinggi pada anak-anak yang menderita infeksi usus (Ngastiyah 1997).
3) Riwayat penyakit sekarang
a) Lamanya keluhan : masing-masing orang berbeda tergantung pada tingkat dehidrasi, status gizi, keadaan sosial ekinomi, hygiene dan sanitasi (Jellife, 1994)


b) Akibat timbul keluhan : anak menjadi rewel dan menjadi gelisah, badan menjadi lemah dan beraktifitas bermain kurang (Ngastiyah, 1997).
c) Faktor memperberat : ibu menghentikan pemberian makanan, anak tidak mau makan dan minum, tidak ada pemberian cairan tambahan (larutan oralitr atau larutan gula garam).


4) Riwayat penyakit dahulu
Dalam pengkajian ini perlu ditanyakan tentang riwayat penyakit yang pernah diderita oleh anak maupun keluarga dalam hal ini orang tua. Apakah dalam keluarga pernah mempunyai riwayat penyakit keturunan atau pernah menderita penyakit kronis sehingga harus dirawat di rumah sakit.
5) Riwayat kehamilan dan kelahiran
Disini hal-hal yang ditanyakan meliputi keadaan ibu saat hamil, gizi, usia kehamilan dan obat-obatan. Hal tersebut juga mencakup kesehatan anak sebelum lahir, saat lahir, dan keadaan anak setelah lahir.
6) Tumbuh kembang
Dalam pengkajian ini yang perlu ditanyakan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usia anak sekarang yang meliputi motorik kasar, motorik halus, perkembangan kognitif atau bahasa dan personal sosial atau kemandirian.
7) Imunisasi
Dalam pengkajian ini yang ditanyakan kepada orang tua adalah apakah anak mendapatkan imunisasi secara lengkap sesuai dengan usianya dan jadual pemberian serta efek samping dari pemberian imunisasi seperti panas, alergi, dan sebagainya.
8) Psikososial
Dalam pengkajian ini yang ditanyakan meliputi tugas perkembangan sosial anak, kemampuan beradaptasi selama sakit, mekanisme koping yang digunakan oleh anak dan keluarga. Respon emosional keluarga dan penyesuaian keluarga terhadap stress mencakup juga harapan-harapan keluarga terhadap kesembuhan penyakit anak.
9) Kesehatan fisik
Beberapa hal yang perlu ditanyakan meliputi pola nutrisi seperti frekuensi makan, jenis makanan, makanan yang disukai atau tidak disukai dan keinginan untuk makan dan minum. Pola eliminasi seperti frekuensi buang air besar dan buamg air kecil di rumah dan di rumah sakit. Selain itu ditanyakan tentang konsistensi , warna dan bau dari objek eliminasi. Kebiasaan tidur seperti tidur siang, malam, kebiasaan sebelum dan sesudah tidur. Pola aktivitas juga ditanyakan baik di rumah maupun di sekolah, juga bagaimana pola hygiene tubuh seperti mandi, keramas, gosok gigi dan ganti baju.

10) Kesehatan mental
Dalam hal ini ditanyakan mengenai pola interaksi anak, pola kognitif anak, pola emosi anak saat dirawat, pola psikologi keluarga serta kopingnya dan pengetahuan keluarga dalam mengenali penyakit anaknya.
11) Kesehatan sosial dan spiritual
Dalam pengkajian ini yang perlu ditanyakan meliputi pola kultural atau norma yang berlaku dalam keluarga dan pola rekreasi serta keadaan lingkungan rumah. Mengenai pola spiritual yang ditanyakan mengenai pola ibadah apakah klien sudah bisa beribadah dan nilai-nilai spiritual yang sudah ditanamkan oleh keluarga.

b. Pemeriksaan fisik
a) Aktifitas/istirahat
Gejala : gangguan pola tidur, misalnya : insomnia dini hari, kelemahan , perasaan hiper dan atau ansietas.
Tanda : periode hiperaktifasi, latihan keras terus menerus.
b) Sirkulasi
Gejala : perasaan dingin meskipun pada ruangan hangat.
Tanda : tekanan darah rendah, bradikardi, distritmia.
c) Integritas Ego
Gejala : ketidak berdayaan putus asa
Tanda :status emosi depresi, menolak , marah, ansietas.
d) Eliminasi
Gejala : Diare, nyeri abdomen tidak jelas dan distres, kembung, penggunaan laktatif atau diuretik
e) Makanan/cairan
Gejala lapar terus menerus atau menyangkal lapar nafsu makan normal atau meningkat (kadang menghilang sampai gangguan lanjut.)
f) Hygene
Tanda : rambut rontok, kuku kotor dan rapuh, tanda erosi email gigi, kondisi gusi buruk.
g) Neurosensori
Tanda : efek depresi, perubahan mental (apatis, bingung, gangguan memori) karena mal nutrisi/kelaparan.
h) Nyeri/ketidaknyamanan
Gejal : sakit kepala
i) Keamanan
Tanda : peningkatan suhu tubuh, berulangnya proses infeksi, eksim atau masalah kulit lain.

j) Interaksi sosial
Gejala : merasa tidak berdaya
2) Pemeriksaan penunjang
Pada gastroenteritis biasanya dilakukan pemeriksaan tinja untuk mengetahui jenis kuman penyebab, pemeriksaan elektrolit, BUN, creatinin dan glukosa serta perlu diketahui adanya riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan.
c. Analisa data
Data subyektif yaitu data yang didapat dari ungkapan atau keluhan klien dalam hal ini anak dan ortu sedangkan data obyektif yaitu data yang didapat dari suatu pengamatan, observasi, pengukuran dan hasil pemeriksaan. Data-data tersebut dikelompokkan berdasarkan peranannya untuk menunjang suatu masalah, dimana masalah tersebut berfokus pada klien dan respon klien.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan potensial atau aktual (Gaffar, 1999: 61). Diagnosa keperawatan berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan masalah klien yang dapat ditangani oleh perawat (Doenges, 2000: 46).
Diagnosa keperawatan berdasarkan masalah yang sering ditemukan pada pasien diare, yaitu :
a. Menurut Lynda Juall Carpenito ( 1999 ), halaman 188-191
1). Resiko tinggi terhadap defisit cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder terhadap muntah dan diare.
2). Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan kram abdomen, diare dan muntah sekunder terhadap dilatasi sekunder dan hiperperistaltik.
3). Resiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, pembatasan diit dan tanda-tanda serta gejala komplikasi.

b. Menurut Tucker et all ( 1999 ), halaman 958-960
1). Diare yang berhubungan dengan iritasi usus, proses infeksi atau mal absorbsi usus.
2). Kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakmampuan mentoleransi cairan peroral tanpa muntah dan diare.
3). Perubahan integritas kulit yang berhubungan dengan seringnya defekasi sehingga iritasi pada daerah anal dan bokong.
4). Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai kebutuhan perawatan di rumah dan prosedur yang diikuti jika diare berulang.


3. Perencanaan
Perencanaan adalah gambaran atau tindakan yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah keperawatan yang dihadapi klien (Depkes RI, 1998). Perencanaan merupakan tahap ketiga dari proses keperawatan dimana tujuan/ hasil ditentukan dan intervensi dipilih. Sedang rencana perawatan adalah bukti tertulis dari tahap dua dan tiga proses keperawatan yang mengidentifikasi masalah atau kebutuhan klien, tujuan/ hasil perawatan, dan intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan dan menangani masalah atau kebutuhan klien (Marilynn E. Doenges, 1999). Adapun rencana keperawatan yang sesuai dengan penyakit gastroenteritis adalah sebagai berikut :
Dx. 1. Diare b/d mal absorbsi usus
Tujuan :
Diare teratasi
Kriteria hasil :
Orangtua mengatakan frekuensi BAB kurang dengan konsistensi tidak encer.
Rencana Keperawatan :
a. Kaji dan observasi defekasi, karateristik, jumlah dan factor pencetus.
b. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare.
c. Mulai berikan pemasukan cairan peroral secara bertahap, hindari minuman dingin.
d. Jelaskan manfaat istirahat adekuat.
e. Observasi demam, letargi,takikardi.
f. Kolaborasi dalam pemberian antikolinergik dan antibiotic.
Rasional :
a. Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya diare.
b. Untuk menghindari iritasi dan meningkatkan istirahat usus.
c. Memberikan istirahat kolon dengan menurunkan/ menghilangkan rangsangan makanan/ cairan.
d. Istirahat menurunkan mobilisasi usus, juga menurunkan laju metabolisme bila terjadi infeksi.
e. Untuk menentukan intervensi yang tepat untuk dilakukan.
f. Anti kolinergik untuk menurunkan peristaltic usus, antibiotic mengobati infeksi supurati lokal.
Dx. 2. Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake dan output tidak seimbang.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil :
Berat badan dalam batas normal sesuai dengan tinggi dan umur klien, porsi makan dihabiskan.
Rencana Tindakan :
a. Kaji status nutrisi klien serta intake dan outputnya.
b. Timbang BB setiap hari.
c. Observasi dan catat respon terhadap diit yang diberikan.
d. Sesudah dehidrasi, anjurkan untuk tetap memberi ASI.
e. Berikan lingkungan yang menyenangkan selama makan.
f. Anjurkan untuk memberikan makanan sedikit tetapi sering.
Rasional :
a. Sebagai perbandingan dalam menentukan perubahan nutrisi klien selama sakit.
b. Untuk mengetahui perkembangan nutrisi klien selama sakit.
c. Untuk menilai toleransi klien terhadap diit yang diberikan.
d. Pemberian ASI dapat membantu dalam mempercepat proses penyembuhan.
e. Nafsu makan terangsang pada situasi yang rileks dan menyenangkan.
f. Pemberian makan sedikit tapi sering tidak akan menekan gastric sehingga mengurangi perasaan mual dan muntah.
Dx. 3. Resiko terjadi defisit volume cairan b/d kehilangan cairan berlebihan melalui diare dan muntah.
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan tubuh dalam batas normal.
Kriteria hasil :
Berat badan normal, mukosa bibir lembab, keluaran urin normal 10-20 ml/ jam dan turgor kulit normal.
Rencana tindakan :
a. Kaji masukan dan haluaran tiap delapan jam.
b. Ukur tanda-tanda vital tiap 1-2 jam.
c. Timbang BB tiap hari.
d. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
e. Beri anti diare sesuai program.
Rasional :
a. Untuk mengetahui keefektifan terapi.
b. Untuk mengetahui hipotensi dan peningkatan suhu tubuh akibat dehidrasi.
c. Untuk mengetahui perkembangan nutrisi setiap hari.
d. Pemberian makanan cair sedikit demi sedikit tidak akan menekan gastric sehingga mengurangi perasaan mual dan muntah.
e. Agen dari diare mengurangi jumlah cairan feses.





4. Intervensi
Intervensi atau tindakan keperawatan dibagi menjadi dua, yaitu tindakan mandiri (dilakukan perawat) dan tindakan kolaboratif (dilakukan oleh pemberi perawatan lainnya). Contoh dari kedua tindakan yang dilakukan secara professional berbeda ini adalah :
Tindakan mandiri : membatasi jumlah pengunjung, merapikan tempat tidur pasien, menimbang berat badan anak, menganjurkan ibu untuk tetap memberikan ASI pada anaknya yang sakit diare.
Tindakan kolaboratif : memberikan obat anti diare seperti yang dipesankan.

5. Evaluasi
Merupakan langkah akhir dari proses keperawatan dan tolak ukur dari hasil yang telah dicapai . Sebagai proses akhir berarti evaluasi merupakan umpan balik bagi perawat akan berhasil atau tidaknya tujuan atau mungkin bahkan timbul masalah baru yang sama sekali tak terduga.

DIABETES MELITUS (DM)

A. Konsep dasar
1. Pengertian
Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, di sertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron ( Mansjoer Arif dkk, 1999 ).
Diabetes Melitus adalah masalah yang mengancam hidup (kasus darurat) yang disebabkan oleh defisiensi insulin (Doenges M. E, 2000).Menurut WHO, Diabetes Melitus adalah keadaan hyperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol.
Sedangkan menurut Prince, A. S, 1999 : Diabets Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara klinis dan genetik termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Diabetes Melitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor lingkungan atau herediter, yang menyebabkan gangguan metabolik berupa defisiensi insulin akibat gangguan hormonal sehingga menimbulkan gangguan pada organ-organ tubuh yang lain, seperti pada: mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi Diabetes Melitus terdiri atas :
a. Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) termasuk dalam tipe satu di mana insulin tidak lagi diproduksi pankreas.
b. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) termasuk dalam tipe dua dimana pankreas masih dapat memproduksi insulin.
c. Gestational Diabetes Melitus pada golongan ini hanya terjadi pada ibu hamil.
d. Gangguan toleransi glukosa.
e. Malnutrisi Related Diabetes Melitus.


3. Anatomi dan Fisiologi Pankreas
Pankreas adalah kelenjar majemuk bertandan , strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah, panjangnya kurang lebih 15 cm, mulai dari duodenum sampai limpa, terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster didalam ruang retroperitonial dan terdiri dari tiga bagian, yaitu :
a. Kepala pankreas, yang paling lebar, terletak disebelah kanan rongga abdomen dan didalam lekukan duodenum.
b. Badan pankreas, merupakan bagian utama pada organ tersebut dan letaknya dibelakang lambung dan didepan vertebra lumbalis pertama.
c. Ekor pankreas, adalah bagian yang runcing disebelah kiri dan menyentuh limpa.
Jaringan pankreas terdiri atas lobula daripada sel sekretori yang tersusun mengitari saluran-saluran halus. Saluran ini mulai dari persambungan saluran kecil dari lobula yang terletak didalam ekor pankreas dan berjalan melalui badannya dari kiri ke kanan. Saluran kecil itu menerima saluran dari lobula lain dan kemudian bersatu.
Pankreas merupakan kelenjar ganda yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian eksokrine dan endokrine. Dimana eksokrine dilaksanakan oleh sel sekretori lobula yang membentuk cairan getah pankreas dan yang berisi enzim dan elektrolit untuk pencernaan sebanyak 1500 sampai 2500 ml sehari dengan pH 8 sampai 8,3. Cairan ini dikeluarkan akibat rangsangan dari hormon sekretin dan pankreoenzimin. Sedangkan endokrine terdapat di alveoli pankreas berupa massa pulau kecil yang tersebar diseluruh pangkreas dan disebut Pulau Lengerhans . Setiap pulau berdiameter 75 sampai 150 mikron yang terdiri sel Beta 75 %, sel Alfa 20 %, sel Delta 5 % dan beberapa sel C. Sel Alfa menghasilkan glukagon dan sel Beta merupakan sumber insulin sedangkan sel delta mengeluarkan somatostatin, gastrin dan polipeptida pankreas.
4. Etiologi
Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) atau Diabetes tergantung insulin disebabkan oleh destruksi sel beta pulau langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) disebabkan kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh sel hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer. A dkk, 1999).
5. Patofisiologi
Keadaan tubuh yang sehat makanan seperti karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin serta air dalam saluran cerna dipecah menjadi polisakarida, glukosa menjadi monosakarida, mengalir dalam pembuluh darah vena porta sehingga terjadi rangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin. Monosakarida disimpan diotot dan hati sebagai dalam glikogen, sisanya beredar dalam pembuluh darah dan dikontrol oleh insulin.
Jika glukosa berkurang maka terjadi pemecahan glikogen yang disebabkan oleh reaksi glikogenolisis. Sedangkan bila kadar glukosa berlebihan maka disimpan dalam bentuk glikogen, reaksi ini disebut glikogenesis.
Pada penderita Diabetes Melitus terjadi pengeluaran glukosa yang berlebihan di liver melalui glikogenolisis dan glikoneogenesis serta oleh tidak adekuatnya penggunaan glukosa oleh otot-otot skeletal, jaringan adiposa dan hati. Trigliserida ditransformasi dari sel-sel menuju kehati dirubah menjadi keton yang digunakan oleh otot.
Pada IDDM sekresi insulin sangat sedikit atau tidak ada sama sekali, sedangkan pada NIDDM terdapat ketidak sesuaian Glukosa Sinsing Mekanism oleh sel beta pankreas. Demikian pula pada obesitas, ada penurunan jumlah reseptor insulin pada membran sel otot dan sel lemak. Pada obesitas di ekskresikan sejumlah besar insulin, tapi tidak efektif penggunaannya karena berkurangnya jumlah reseptor insulin. Saat glukosa darah meningkat tubulus renal tak mampu mereabsorsi seluruh glukosa saat glumerolus filtrasi sehingga tidak terjadi glukosuria. Glukosa darah yang tinggi menyebabkan osmotik diuresis karena gula bersifat mengikat air. Air, sodium, clorida, photasium dan phospat menjadi hilang keluar bersama urin, sehingga klien menjadi haus. Bila insulin defisiensi atau tidak ada, glukosa tidak dapat masuk kedalam sel dan menyebabkan sel dalam keadaan lapar, tetapi di pihak lain glukosa meningkat dalam tubuh. Jika sel tidak dapat memakai glukosa sebagai bahan bakar,maka alternatif yang digunakan yaitu dengan memecah asam lemak, keton bodies dalam jumlah terbatas. Keton bodies ini berhasil digunakan oleh sel sebagai energi

BAGAN PATOFISILOGI
Sel ß Sel α
Sel Beta Sel Alpha

Peningkatan Insulin Peningkatan Glukagon

Peningkatan penyerapan dan Penurunan penyerapan Penurunan pengeluaran Peningkatan pengeluaran
asimilasi asam amino oleh sel glukosa oleh sel glukosa oleh hati glukosa oleh hati

Hiperglikemia Hipoglikemia Hiperglikemia

Defisiensi glukosa intra sel



Polifagia Glukosuria Mekanisme filtrasi
Ginjal stres

Diuresis osmotik Kebocoran protein
darah dalam urine

Poliuria Peningkatan tekanan pembuluh
darah ginjal
Dehidrasi
Nefropati
Polidipsia

6. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang biasa terjadi pada Diabetes Melitus adalah dengan adanya gejala khas berupa klien banyak makan (polifagia), banyak kencing (poliuria), banyak minum (polidipsia), paralysis, parastesisa. Kadar glukosa dalam darah yang tinggi menyebabkan klien banyak mengeluarkan urin (poliuria), tubuh akan memerlukan lebih banyak air untuk mengimbangi jumlah besar cairan yang keluar sebagai urine, oleh karena itu klien merasa haus. Tanda-tanda lain badan terasa lemas dan berat badan menurun, gejala lain yang mungkin dikeluhkan oleh klien Diabetes Melitus adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.

7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penyaringan perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi untuk Diabetes Mellitus, yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, hipertensi, riwayat keluarga diabetes mellitus, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir > 4.000 gr, riwayat Diabetes Melitus pada kehamilan dan dislipidemia.
Pemeriksaan penyaringan dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa sewaktu, kadar gula darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk pemeriksaan penyaringan ulangan tiap tahun bagi pasien berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan tiap tiga tahun
8. Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada klien dengan Diabetes Melitus:
a. Akut : Koma hipoglikemia, ketoasidosis, koma hiperosmolar nonketotik.
b. Kronik : Makroangiopati, Mikroangiopati, Neuropati, Nefropati, Retinopati, kaki diebetik.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Diabetes Melitus dalam jangka pendek bertujuan untuk menghilangkan keluhan atau gejala Diabetes Melitus. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah komplikasi. Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa darah, lipid, dan insulin. Lebih penting pula mengajarkan agar pasien mampu mandiri dan hidup normal dengan Diabetes Melitusnya.
a. Terapi diet, klien Diabetes Melitus dianjurkan dengan diet tinggi serat dengan prinsip jumlah kalori yang tepat, gula dan produk gula dilarang, diit sesuai pola hidup, tinggi serat, cukup vitamin dan mineral.
b. Terapi latihan, dianjurkan latihan jasmani teratur, 3 – 4 kali setiap minggu selama setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training). Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, joging, lari, renang, bersepeda dan mendayung. Hal yang perlu diperhatikan jangan memulai olah raga sebelum makan, memakai sepatu yang pas, selalu didampingi oleh orang yang tahu mengatasi serangan hipoglikemia, harus selalu membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai penderita Diabetes Melitus, selalu memeriksa kaki secara cermat setelah olah raga.
c. Terapi insulin, diberikan sebagai bantuan bila klien telah melakukan pengaturan makan dan olah raga tetapi belum berhasil.
10 . Manajemen Diet
a. Diet berisi kalori, protein dan vitamin serta mineral yang adekuat 30 kal/kgBB.
b. Dapat ditambah 35-40 kal/kgBB untuk aktifitas yang meningkat.
c. Dapat dikurangi 15 – 25 kal/kg BB untuk pasien gemuk / kurang
beraktifitas.
d. Tinggi serat.
B. Asuhan Keperawatan .
Proses keperawatan merupakan masalah yang dinamis dalam usaha memperbaiki atau merawat pasien ke tarap yang optimal melalui mutu pendekatan yang sistemaits untuk mengenal masalah dan membantu pasien dalam mengatasi masalahnya.
Dalam proses keperawatan terdiri dari lima tahap, yaitu :
1. Pengkajian
2. Diagnosa keperawatan
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan/Implementasi
5. Evaluasi
Di dalam melaksanakan proses keperawatan, perawat harus mempunyai keterampilan khusus agar didapatkan suatu keperawatan yang sempurna, yaitu
1. Keterampilan intelektual
2. Keterampilan tekhnik
3. Keterampilan interpersonal
Konsep Teoritis Asuhan Keperawatan Pada Klien Diabetes Melitus
1. Pengkajian
Adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut.
Menurut Marilyn. E. Doenges (2000), data dasar pengkajian pasien dengan Diabetes Melitus, yang perlu dikaji adalah :
a. Aktifitas/Istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak atau berjalan, keram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur atau istirahat.
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktifitas, letargi atau disorieantasi, koma.
b. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, infark miokar akut, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama.
Tanda : Takikardia, perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang menurun atau tak ada, disritmia, krekels, kulit panas, kering, kemerahan, bola mata cekung.
c. Integritas ego
Gejala : Stres, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi.
Tanda : Ansietas, peka rangsang.
d. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih ( poliuria ), nokturia. Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih ( infeksi ), ISK baru / berulang, nyeri tekan abdomen, diare.
Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi oliguri/anuria jika terjadi hipovolemia berat, urine berkabut, bau busuk infeksi ), abdomen keras, adanya ansietas, bising usus lemah dan menurun, hiperaktif ( diare ).
e. Makanan / cairan
Gejala : Hilang napsu makan, mual, muntah, tidak mengikuti diet, peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari periode beberapa hari / minggu, haus, penggunaan diuretik ( tiazid ).
Tanda : Kulit kering / bersisik, turgor jelek, kekakuan / distensi abdomen, muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolic dengan peningkatan gula darah ), bau halitosis/manis, bau buah ( napas aseton ).
f. Neurosensori
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan,kebas kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan.
Tanda : Disorientasi, mengantuk, letargi, stupor / koma ( tahap lanjut ), gangguan memori , reflek tendon menurun, kejang.
g. Nyeri / keamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri ( sedang/berat ).
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati.
h. Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan / tanpa sputum purulen ( tergantung adanya infeksi/tidak ).
Tanda : Lapar udara, batuk dengan / tanpa sputum purulen ( infeksi ), frekuensi pernapasan.
i. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Tanda : Demam, diaforesis, kulit rusak, lesi / ulserasi, menurunnya kekuatan umum / rentang gerak, parestesia / paralysis otot termasuk otot-otot pernapasan ( jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam ).
j. Seksualitas
Gejala : Rabas vagina ( cendrung infeksi ), masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.
k. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Faktor resiko keluarga, DM, penyakit jantung, stroke, hipertensi, penyembuhan yang lambat, penggunaan obat seperti steroid, diuretik /tiazid , dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah).
Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama di rawat 5 sampai 9 hari.
Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengaturan diet,pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadap glukosa darah.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dibuat setelah data-data terkumpul dan di analisis.
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada pasien Diabetes Melitus, adalah :
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare, muntah, masukan dibatasi, mual, kacau mental.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, anoreksia, mual, lambung penuh, nyeri abdomen, perubahan kesadaran.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penururnan fungsi leukosit, perubahan dari sirkulasi,
d. Perubahan sensori-perseptual (uraikan) berhubungan dengan perubahan kimia endogen, ketidakseimbangan glukosa atau elektrolit.
e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan fungsi metabolik insufisiensi insulin.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit yang tidak dapat diobati, ketergantungan dengan orang lain.
g. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang mengingat kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber infomasi.
3. Perencanaan
Adapun perencanaan keperawatan pada pasien Diabetes Melitus berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul, adalah :
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare, muntah, masukan dibatasi, mual, kacau mental.
Hasil yang diharapkan : Tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba turgor kulit dan pengisisan baik, haluaran urin tepat secara individu, kadar elektrolit dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1) Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya perubahan TD.
2) Pantau pola pernafasan seperti adanya pernafasan kussmaul atau pernafasan berbau keton.
3) Pantau frekuensi pernafasan, penggunaan otot bantu nafas, adanya sianosis.
4) Pantau suhu, warna kulit dan kelembaban
5) Ukur berat badan tiap hari.
6) Observasi nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.
7) Pertahankan pemberian cairan paling sedikit 2500 ml/hari.
8) Beri lingkungan nyaman.
9) Kolaborasi dalam pemberian cairan sesuai dengan indikasi
Rasionalisasi :
1) Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia, perkiraan berat ringan hipovolemia dapat dibuat ketika tekanan darah sistolik klien turun lebih dari 10 mmhg dari posisi baring keposisi duduk/berdiri.
2) Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang menghasilkan kompensasi alkalosis respiratoris terhadap ketoasidosis, pernapasan yang berbau aseton berhubungan pemecahan asam aseto-asetat dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi.
3) Koreksi hiperglikemia dan asidosis akan menyebabkan pola dan frekuensi pernapasan mendekati normal, tetapi peningkatan kerja pernapasan dangkal, cepat serta muncul sianosis.
4) Demam, menggigil dan diaforesis merupakan hal umum terjadi pada proses infeksi, demam dengan kulit yang kemerahan, kering mungkin sebagai cerminan dari dehidrasi.
5) Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
6) Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat.
7) Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi.
8) Menghindari pemanasan yang berlebihan terhadap klien lebih lanjut akan dapat menimbulkan kehilangan cairan.
9) Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respons secara individual.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan ketidakcukupan insulin, anoreksia, mual, lambung penuh, nyeri abdomen, perubahan kesadaran.
Hasil yang diharapkan : Mencerna jumlah kalori yang tepat, menujukkan tingkat energi yang biasanya, berat badan stabil.
Rencana tindakan :
1) Timbang berat badan sesuai dengan indikasi.
2) Tentukan program diet dan pola makan pasien.
3) Auskultasi bising usus,catat adanya nyeri abdomen kembung, mual,pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
4) Beri makanan cair yang mengandung nutrien dan elektrolit identifiasi makanan yang disukai.
5) Observassi tanda-tanda hipoglikimia.
6) Kolaborasi dalam pemeriksaan gula darah dengan menggunakan “finger stick”.
7) Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah.
Rasionalisasi :
1) Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat termasuk absorbsi dan utilisasinya.
2) Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapiutik.
3) Hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas/fungsi lambung yang akan mempengaruhi pilihan intervensi.
4) Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika klien sadar dan fungsi gastrointestinal baik.
5) Metabolisme karbohidrat mulai terjadi dan gula darah akan berkurang dan sementara tetap diberikan insulin maka hipoglikemia dapat terjadi, jika klien dalam keadaan koma hipoglikemia mungkin terjadi tanpa memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran, secara potensial dapat mengancam kehidupan yang harus dikaji dan ditangani secara cepat melalui tindakan protokol yang direncanakan.
6) Analisa ditempat tidur terhadap gula darah lebih akurat dari pada memantau gula darah dalam urine yang tidak cukup akurat untuk mendeteksi fluktuasi kadar gula darah dan dapat dipengaruhi oleh ambang ginjal klien secara individual atau adanya retensi urine/gagal ginjal.
7) Gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan cairan dan terapi insulin terkontrol, dengan pemberian insulin dosis optimal glukosa kemudian dapat masuk kedalam sel dan digunakan untuk sumber kalori, hal ini terjadi sehingga kadar aseton akan menurun dan asidosis dapat dikoreksi.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penururnan fungsi leukosit, perubahan dari sirkulasi.
Hasil yang diharapkan : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan risiko, mendemonstrasikan tehnik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Rencana tindakan :
1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan, seperti demam, kemerahan, adanya pes pada luka, sputum purulen, urin warna keruh atau berkabut.
2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien
3) Pertahankan tehnik aseptik pada prosedur invasif berikan perawatan kulit dengan teratur dan jaga kulit agar tetap kering.
4) Pasang kateter dan lakukan perawatan perineal dengan baik.
5) Berikan posisi semifowler
6) Anjurkan untuk makan dan minum adekuat
7) Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik yang sesuai.
Rasionalisasi :
1) Klien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nasokomial.
2) Mencegah timbulnya infeksi silang.
3) Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media
terbaik bagi pertumbuhan kuman.
4) Mengurangi resiko terjadinya ISK, klien koma mungkin memiliki resiko yang khusus jika terjadi retensi urine pada saat awal dirawat.
5) Memberikan kemudahan bagi paru untuk berkembang,
menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
6) Menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi, meningkatkan aliran urine untuk mencegah urine yang statis dan membantu dalam mempertahankan pH urine yang menurnkan pertumbuhan bakteri dan pengeluaran organisme dari system organ tersebut.
7) Penangan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis.
e. Perubahan sensori-perseptual (uraikan) berhubungan dengan perubahan kimia endogen, ketidakseimbangan glukosa atau elektrolit.
Hasil yang diharapkan : Mempertahankan tingkat mental biasanya, mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori
Rencana tindakan :
1. Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
2. Orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhan pada pasien misal : orang, tempat dan waktu.
3. Jadwalkan intervensi keperawatan agar tidak mengganggu waktu istirahat klien.
4. Pelihara aktifitas rutin klien sekonsisten mungkin dan motivasi untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.
5. Lindungi pasien dari cedera ketika tingkat kesadaran pasien terganggu.
6. Evaluasi lapang pandang penglihatan sesuai dengan indikasi.
7. Selidiki adanya keluhan paraestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada kaki.
8. Beri tempat tidur yang lembut.
9. Bantu pasien dalam perubahan posisi.
10. Kolaborasi dalam pemberian terapi sesuai dengan indikasi.
11. Pantau nilai laboratorium seperti nilai glukosa darah dan HB.
Rasionalisai :
1) Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal seperti suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental.
2) Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mepertahankan kontak dengan realitas.
3) Meningkatkan tidur, menurunkan rasa letih dan dapat memperbaiki daya pikir.
4) Membantu memelihara klien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungan.
5) Disorientasi merupakan awal dari kemungkinan cedera terutama malam hari dan perlu pencegahan sesuai indikasi.
6) Oedema/lepasnya retina, hemoragik, katarak, paralysis otot ekstraokuler sementara mengganggu penglihatan yang memerlukan terapi korektif.
7) Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat, kehilangan sensasi sentuhan/distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan.
8) Meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan kerusakan kulit karena panas.
9) Meningkatkan keamanan klien terutama ketika rasa keseimbangan dipengaruhi.
10) Gangguan dalam proses piker/potensial terhadap aktifitas kejang biasanya hilang bila keadaan hiperosmolaritas teratasi.
11) Ketidakseimbangan nilai laboratorium dapat menurunkan fungsi mental.
f. Kelelahan berhubungan dengan penurunan fungsi metabolik insufisiensi insulin
Hasil yang diharapkan : Mengungkapkan peningkatan tingkat energi, menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Rencana tindakan :
1) Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas dan buat jadwal perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang menunjukkan kelelahan.
2) Beri aktivitas alternatif dengan periode aktivitas yang cukup.
3) Pantau nadi, pernafasan, dan tekanan darah sebelum dan sesudah aktivitas.
4) Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat dan sebagainya.
5) Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
Rasionalisasi :
1) Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktifitas meskipun klien mungkin sangat lemah.
2) Mencegah kelelahan yang berlebihan.
3) Mengindikasikan tingkat aktifitas yang dapat ditoleransi secar fisiologis.
4) Klien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan energi pada setiap kegiatan.
5) Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktifitas yang dapat ditoleransi klien.


g. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit yang tidak dapat diobati, ketergantungan dengan orang lain.
Hasil yang diharapkan : Mengakui perasaan putus asa, mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan, membantu dalam merencanakan perawatan sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Rencana tindakan :
1) Anjurkan pasien atau keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan dan penyakitnya secara keseluruhan.
2) Observasi bagaimana pasien telah menangani masalahnya di masa lalu.
3) Berikan kesempatan pada keluarga untuk mengekspresikan perhatiannya dan diskusikan cara mereka dapat membantu sepenuhnya terhadap klien.
4) Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga.
5) Anjurkan pasien untuk membuat keputusan sehubungan dengan perawatannya.
6) Berikan dukungan pada pasien untuk berperan serta dalam merawat diri sendiri dan beri umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya.
Rasionalisasi :
a. Mengidentifikasi area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan masalah.
b. Pengetahuan gaya individu membantu untuk menentukan kebutuhan terhadap tujuan penanganan.
c. Meningkatkan perasaan terlibat dan memberikan kesempatan keluarga untuk memecahkan masalah untuk membantu mencegah terulangnya penyakit pada klien lagi.
d. Harapan yang tidak realistis atau adanya tekanan dari orang lain atau diri sendiri dapat mengakibatkan perasaan frustasi/kehilangan kontrol diri dan mungkin mengganggu kemampuan koping.
e. Mengkomunikasikan pada klien bahwa beberapa pengendalian dapat dilatih pada saat perawatan dilakukan.
f. Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.
h. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang mengingat kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber infomasi.
Hasil yang diharapkan : Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, mengidentifikasi hubungan, tanda dan gejala dengan proses penyakit, dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan, melakukan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Rencana tindakan :
1. Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan dan selalu ada untuk pasien.
2. Bekerja dengan pasien dalam menata tujuan belajar yang diharapkan.
3. Pilih strategi belajar seperti teknik demonstrasi dan membiarkan pasien mendemonstrasikan ulang.
4. Diskusikan topik-topik yang utama.
5. Diskusikan cara pemeriksaan gula darah.
6. Diskusikan tentang rencana diet.
7. Tinjau kembali pemberian insulin oleh klien dan perawatan terhadap peralatan yang digunakan.
8. Tekankan pentingnya pemeriksaan gula darah setiap hari, waktu dan dosis obat.
9. Diskusikan factor-faktor yang memegang peranan dalam kontrol DM.
10. Buat jadual latihan/aktifitas secara teratur.
11. Anjurkan untuk tidak menggunakan obat-obat yang dijual bebas tanpa konsultasi dengan tenaga kesehatan.
12. Lihat kembali tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi secara medis.
13. Demonstrasikan teknik penanganan stress seperti teknik napas dalam.
Rasionalisasi :
1) Menanggapi dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum klien bersedia mengambil bagian dalam proses keperawatan.
2) Partisipasi dalam perencanaan meningkatkan antusias dan kerja sama klien dengan prinsip yang dipelajari.
3) Penggunaan cara yang berbeda tentang mengakses informasi meningkatkan penyerapan pada individu yang belajar.
4) Memberikan pengetahuan dasar dimana klien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya hidup.
5) Pemeriksaan gula darah oleh diri sendiri 4 kali setiap hari atau lebih memungkinkan fleksibilitas dalam perawatan diri.
6) Pentingnya kontrol diet akan membantu klien dalam merencanakan makan dan mentaati program.
7) Mengidentifikasikan pemahaman dan kebenaran dari prosedur atau masalah yang potensial dapat terjadi sehingga solusi alternatif dapat ditentukan untuk pemberian insulin tersebut.
8) Membantu dalam menciptakan gambaran nyata dari keadaan klien untuk melakukan kontrol penyakitnya dengan lebih baik.
9) Informasi ini penting untuk meningkatkan pengendalian terhadap DM dan dapat sangat menurunkan berulangnya kejadian ketoasidosis.
10) Waktu latihan tidak boleh bersamaan waktunya dengan kerja puncak insulin, makanan harus diberikan sebelum atau selama latihan sesuai dengan kebutuhan dan rotasi injeksi harus menghindari kelompok otot yang akan digunakan aktifitas.
11) Produktifitas mungkin mengandung gula atau berinteraksi dengan obat-obat yang diresepkan.
12) Intervensi segeral dapat mencegah perkembangan komplikasi yang lebih serius atau komplikasi yang mengancam.
13) Meningkatkan relaksasi dan pengendalian terhadap respon stress yang dapat membantu untuk membatasi peristiwa ketidakseimbangan glukosa/insulin.
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah penerapan tindakan-tindakan perawatan yang telah direncanakan. Pada tahap pelaksanaan yang dilakukan adalah melaksanakan tindakan keperawatan yang telah direncanakan. Prioritas tindakan keperawatan yang akan dilakukan adalah: memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa, memperbaiki metabolisme abnormal, mengidentifikasi atau membantu penanganan terhadap penyebab atau penyakit yang mendasar, dan mencegah komplikasi. Setelah semua tindakan dilaksanakan maka akan dilanjutkan dengan pendokumentasian semua tindakan yang telah dilakukan beserta hasil-hasilnya.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah menilai keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Evaluasi merupakan indikator keberhasilan dalam proses keperawatan. Evaluasi berdasarkan yaitu :
a. Volume cairan terpenuhi atau hidrasi adekuat.
b. Kebutuhan pemenuhan nutrisi terpenuhi dari kebutuhan tubuh.
c. Tidak terjadi infeksi ( sepsis ).
d. Tidak terjadi perubahan pada sensori – perseptual.
e. Kelelahan pada klien dapat teratasi.
f. Klien dapat mandiri dalam kebutuhan rutinitas / ketidakberdayaan tidak terjadi.
g. Klien dan keluarga dapat mengetahui tentang penyakit, prognosis, dan pengobatan klien selama dirawat.

Askep dengue Haemorhagic fever( DHF)


A. Konsep Dasar Penyakit
1.      Pengertian
Dengue Haemorhagic Fever ( DHF ) / Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang betina. (Suriadi : 2001).
Demam dengue adalah penyakit yang terdapat pada anak-anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama terinfeksi virus ( Arif Mansjur : 2001).
Menurut Ngastiyah (1997) demam dengue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes albocpictus dan Aedes aegypti ).
Dari Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI ( 1997 ) dan Ngastiyah ( 1997 ), WHO pada tahun 1975 membagi derajat penyakit DHF dalam empat derajat yaitu :
a. Derajat I        : Demam disertai gejala tidak khas, hanya terdapat manifestasi  perdarahan ( uji tourniket positif ).
b. Derajat II      : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan dikulit dan perdarahan lain pada hidung ( epistaksis ).
c. Derajat III     :  Ditemukan  kegagalan   sirkulasi darah dengan  adanya nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( kurang dari 20 mmHg ) / hipotensi disertai kulit dingin dan lembab serta anak gelisah.
d. Derajat IV   :    Renjatan berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah yang tidak dapat dikur, akral dingin dan anak akan mengalami syok.
2.      Etiologi
Penyakit DHF disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Virus ini termasuk dalam kelompok arbovirus golongan B. Hingga sekarang telah dapat diisolasi empat serotif virus dengue di Indonesia, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Namun yang paling banyak menyebebkan demam berdarah adalah dengue tipe DEN-2 dan DEN-3. Di Indonesia dikenal dua jenis nyamuk aedes, yaitu :
a.   Aedes aegypti
1)      Paling sering ditemukan
2)       Nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah, yaitu di tempat penampungan air jernih / tempat penampungan air di sekitar rumah.
3)      Nyamuk ini berbintik-bintik putih.
4)      Biasanya menggigit pada pagi hari dan sore hari.
5)      Jarak terbang 100 meter.
b.   Aedes Albopictus
1)      Tempat habitatnya di tempat air jernih, biasanya di sekitar rumah/pohon-pohon yang dapat tertampung air hujan bersih, yaitu pohon pisang dan tanaman pandan.
2)      Mengigit pada waktu siang hari.
3)      Berwarna hitam.
4)      Jarak terbang 50 meter.

3. Anatomi dan Fisiologi Trombosit dan Pembekuan
Trombosit atau platelet bukan merupakan sel, melainkan pecahan glanular sel, berbentuk piringan dan tidak berinti. Trombosit adalah bagian terkecil dari unsur selular sumsum tulang dan sangat penting peranannya dalam hemostatis dan pembekuan. Trombosit berdiameter 1–4 m dan berumur kira–kira 10 hari. Kira–kira sepertiga berada dalam limpa sebadai suku cadang dan sisanya berada dalam sirkulasi, berjumlah antara 150.000 dan 400.000/mm3. Hemostatis dan pembekuan adalah serangkaian kompleks reaksi yang mengakibatkan pengendalian perdarahan melalui pembentukkan bekuan trombosit dan fibrin pada tempat cedera.  
Pembekuan diawali oleh cedera vaskular dalam keadaan homeostasis. Vasokonstriksi adalah respon langsung terhadap cedera, yang diikuti oleh adhesi trombosit pada kolagen dinding pembuluh darah yang terkena cedera. ADP ( adenosin difosfat ) dilepaskan oleh trombosit, yang menyebabkan mereka mengalami agregasi. Sejumlah kecil trombin juga merangsang agregasi trombosittrombosit, yang berguna untuk mempercepat reaksi. Faktor III trombosit, dari membran trombosit, juga mempercepat pembekuan plasma. Dengan cara ini, terbentuklah sumbat trombosit, yang kemudian segera diperkuat oleh protein filamentosa yang dikenal sebagai fibrin. Pembentukkan fibrin berlangsung bila faktor Xa, dibantu oleh tosfolipid dari trombosit yang sudah diaktifkan memecahkan protrombin, membentuk trombin. Selanjutnya trombin memecahkan fibrinogen membentuk fibrin. ( Sejumlah kecil trombin nampaknya dicadangkan untuk memperbesar agregasi  trombosit ). Fibrin ini, yang mula–mula merupakan jeli yang dapat larut, distabilkan oleh faktor XIIIa dan mengalami polimerasi menjadi jalinan fibrin yang kuat, trombosit, dan menjerat sel–sel darah. Untaian fibrin kemudian memendek ( retraksi bekuan ), mendekatkan pinggir–pinggir dinding pembuluh dinding pembuluh yang cedera dan menutup daerah tersebut. ( Anderson, 1995 ).
( Richard Walker, 2000, Under The Microscope, Heart–Clotting & Healing)
Gambar ini menunjukkan proses pembekuan dimana benang fibrin sudah mulai terbentuk sehingga menjerat sel darah merah dan membuat sumbatan pada pembuluh darah yang terluka sehingga perdarahan berhenti.
4. Patofisiologi
Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk  Aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan antibodi, sehingga terbentuklah kompleks virus antibodi dan di dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen. Akibat aktivasi ini akan mengakibatkan lepasnya histamin yang merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan akan menyebabkan hilangnya plasma melalui endotel dinding itu. Terjadi trombositopenia yang akan menurunkan fungsi trombosit dan faktor koagulasi ( protrombin dan fibrinogen ) dan menyebabkan terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan salauran gastrointestinal. Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, dan diatesis hemoragik yang akan mengakibatkan terjadinya renjatan secara akut. Nilai hematokrit meningkat  bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dengan hilangnya plasma, anak mengalami hipovolemik dan apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.


Infeksi Dengue


      


           Demam      Manifestasi perdarahan       Hepatomegali      Trombositopenia
         Anoreksia
          Muntah










                           Dehidrasi                                                      Permeabilitas kapiler
                                                                                                    Hemokonsentrasi
                    Kehilangan plasma                                                  Hipoproteinemia
                                                                                                         Efusi Pleura
                         Hipovolemik                                                               Asites
                                                                                     
                              Syok                   

                           Anoksia              

Perdarahan                                                      Asidosis
Gastrointestinal
                         
                          Kematian
5. Tanda dan gejala
 Akibat masuknya virus dengue ke dalam tubuh, akan mengakibatkan :
a.   Demam tinggi selama 2 –7 hari, tampak lemah dan lesu, suhu badan antara 380 – 400 celcius atau lebih ( tanpa sebab yang jelas ).
b.  Tampak bintik-bintik merah pada kulit seperti bekas gigitan nyamuk, disebabkan pecahnya pembuluh darah kapiler di kulit, untuk membedakan antara gigitan nyamuk biasa dengan nyamuk Aedes aegypti adalah dengan merenggangkan pada daerah kulit tampak bintik merah dan bila hilang berarti bukan tanda DHF.
c.   Nyeri ulu hati terjadi karena adanya perdarahan pada lambung, nyeri otot, nyeri tulang dan sendi, dan nyeri pada daerah abdomen.
d.  Adanya tanda-tanda perdarahan, yang terjadi perdarahan adalah pada daerah di bawah kulit ( petekhie/ekimosis ), perdarahan pada hidung ( epistaksis ) , perdarahan pada gusi, berak darah / batuk darah ( melena / hematemesis ).
e.   Pembesaran hepar ( sudah dapat diraba sejak permulaan sakit anak), pembengkakan sekitar mata, dan sakit kepala.
f.   Syok yang ditandai nadi lemah / cepat, disertai tekanan darah yang menurun ( diastolik turun menjadi 20 mmHg dan sistolik menjadi 80 mmHg atau kurang ), capillary refill lebih dari dua detik.
g.  Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan jari kaki, serta timbul sianosis di sekitar mulut.
h.  Mual, muntah, tidak ada napsu makan , diare, dan konstipasi.
i.    Anak semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun menjadi sopor dan akhirnya koma.

6. Pemeriksaan penunjang
a.       Darah Lengkap Tiap 6 – 8 Jam Sekali
1) Terjadi trombositopenia ( 100.000/mm3 ) dan hemokonsentrasi  (hematokrit meningkat 20 % atau lebih).
2)   Haemoglobin meningkat 20 %.
3)      Hasil pemeriksaan darah menunjukkan hipoprotemia.
b.      Rontgen Thoraks
Untuk mengetahui adanya efusi pleura.
c.   Uji Serologi
Yaitu serum diambil pada masa akut dan pada masa penyembuhan ( 1 – 4 minggu setelah gejala awal penyakit ) dengan mengambil darah vena sebanyak 2 – 4 ml dan pengambilan darah ini dilakukan minimal empat kali.
d. Test Tourniquet
Cara uji tourniquet adalah dengan memasang manset tensimeter pada lengan atas dan pompa sampai air raksa mencapai pertengahan tekanan sistolik dan diastolik, biarkan selama 10 – 15 menit. Pada pemeriksaan terdapat > 20 petekhie pada daerah lengan bawah dengan diameter 2,8 cm, maka dinyatakan anak positif DHF.
Kriteria :   ( + ) jumlah petekhie 20
( - ) jumlah petekhie 10 – 20
( ± ) jumlah petekhie ≤ 10
7. Penatalaksanaan
Bila anak diduga atau sudah didiagnosa medis DHF, maka hal yang harus dilakukan adalah :
a.           Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia, muntah. Beri minum banyak, 50 ml/kg BB dalam 4 – 6 jam pertama berupa air teh dengan gula, sirup, susu/ASI, sari buah, atau oralit. Setelah dehidrasi dapat diatasi, berikan cairan 80 – 100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya.
b.          Hiperpireksia dapat diatasi dengan memberi kompres air hangat atau dingin dan bila perlu berikan antipiretik untuk mengatasi demam dengan dosis 10 – 15 mg/kg BB.
c.           Pemberian cairan intravena pada anak tanpa renjatan dilakukan bila anak terus menerus muntah, sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau didapatkan nilai hematokrit yang terus meningkat ( > 40 vol % ). Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5 % dalam 1/3 larutan NaCl 0,9 % dengan  jumlah tetesan 16 ×/ menit. Bila timbul tanda-tanda syok, segera berikan cairan campuran antara NaCL 0,9 % : Glukosa 10 % ( 1: 3 ) dengan jumlah tetesan 20 ml/kg BB/jam. Apabila syok mulai teratasi, jumlah cairan dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
8. Komplikasi
Bila penanganan anak dengan DHF ini lambat, maka akan terjadi berbagai komplikasi, yaitu :
a.         Efusi Pleura
        Disebabkan adanya kebocoran plasma akibat meningkatnya permeabilitas membran, sehingga cairan akan masuk ke dalam pleura.
b.        Perdarahan Pada Lambung
        Terjadi akibat anak mengalami mual dan muntah serta kurangnya nafsu makan pada anak, sehingga akan meningkatkan produksi asam lambung. Bila ini terus berlangsung, maka asam lambung akan mengiritasi lambung dan mengakibatkan perdarahan.
c.         Pembesaran Pada Hati, Limpa, dan Kelenjar Getah Bening
        Terjadi akibat bocornya plasma yang mengandung cairan, dan mengisi bagian rongga tubuh. Cairan akan menekan dinding dari organ tersebut, sehingga organ akan mengalami pembesaran.
d.        Hipovolemik
        Terjadi akibat meningkatnya nilai hematokrit bersamaan dengan hilangnya plasma melalui dinding pembuluh darah.
9. Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan memutus rantai penularan dengan memberantas penular maupun jentiknya. Penggunaan vaksin untuk mencegah DHF masih dalam taraf penelitian, sedangkan obat yang efektif terhadap virus belum ada.
Cara pencegahannya ada dua, yaitu :
a.       Memberantas nyamuk dewasa
Caranya dengan diberi pengasapan ( fogging ) menggunakan bahan insektisida. Pengasapan ini sangat efektif dan cepat memutuskan  rantai penularan, karena nyamuk akan segera mati bila kontak dengan partikel-partikel insektisida.
b.      Memberantas jentik
Caranya dengan meniadakan perindukannya, sehingga nyamuk tidak berkesempatan untuk berkembang biak. Cara ini dikenal dengan pemberantasan sarang nyamuk ( PSN ). Aedes aegypti diketahui berkembang biak di air bersih tergenang yang tidak berhubungan langsung dengan tanah.
Pemberantasan sarang nyamuk yang dilakukan dengan :
1)          Membersihkan ( menguras ) tempat penyimpanan air, seperti bak mandi / WC, drum, dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali, karena perkembangbiakan dari telur sampai menjadi nyamuk adalah 7 – 10 hari.
2)          Menutup rapat tempat penyimpanan / penampungan air ( misalnya tempayan, drum, dll ) agar nyamuk tidak dapat masuk dan bertelur.
3)          Membersihkan pekarangan rumah/halaman, kemudian mengubur / membakar / membuang barang bekas yang dapat digenangi air (seperti kaleng, botol, ban bekas,tempurung, dl).
4)          Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung secara berkala.
5)          Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk abate kedalam genangan air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk abate kedalam genangan air untuk membunuh jentik-jentik nyamuk, ulangi hal ini setiap 2 – 3 bulan sekali atau peliharalah ikan ditempat itu.

B.  Asuhan Keperawatan
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan terhadap klien anak dengan DHF, perawat memandang klien sebagai individu yang utuh yang terdiri dari bio, psiko, sosial, dan spiritual, yang mempunyai kebutuhan sesuai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya.
Menurut Tailor C., Lilis C., Lemone P., 1989 ( dari La Ode Jumadi Gaffar, 1997 )  proses keperawatan adalah metode sistematik dimana secara langsung perawat bersama klien secara bersama menentukan masalah keperawatan sehingga membutuhkan asuhan keperawatan, membuat perencanaan dan rencana implementasi, serta mengevaluasi hasil asuhan keperawatan.
1.  Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar bagi seorang perawat dalam melakukan pendekatan secara sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan klien tersebut. Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu menentukan status kesehatan dan pola pertahanan klien serta memudahkan dalam perumusan diagnosa keperawatan. ( Doenges : 2000 ).
Tujuan dari pengkajian keperawatan adalah mengumpulkan secara sistematis, mengelompokkan, dan mengatur data yang dikumpulkan dan menganalisa data sehingga ditemukan diagnosa keperawatan. ( La Ode Jumadi Gaffar, 1997 ).
Tahap pengkajian pada anak dengan DHF terdiri dari :
a.       Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi yang sistemik tentang klien termasuk kekuatan dan kelemahan klien dengan cara wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik. Data dikumpulkan dari keluarga, orang terdekat, masyarakat, grafik, dan rekam medik.
1)      Identitas klien dan keluarga
a)      Nama pasien, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, agama.
b)      Nama Ayah, umur, agama, pekerjaan, pendidikan, kultur, alamat.
c)      Nama ibu, umur,agama, pekerjaan, pendidikan, kultur, alamat.
d)     Tanggal anak masuk rumah sakit, diagnosa medis, dan sumber informasi yang diperoleh.
2)      Riwayat kesehatan
a)  Riwayat keperawatan anak ( Suriadi : 2001 )
(1)   Keluhan utama anak masuk rumah sakit biasanya adalah badan panas, disertai mimisan, berak encer atau kadang-kadang disertai berak darah, susah tidur, rewel, nafsu makan menurun, sakit kepala, nyeri otot, tulang sendi, abdomen, dan ulu hati, pembengkakan sekitar mata, pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
(2)   Lamanya keluhan biasanya untuk panas akan berlangsung 2 – 7 hari, disertai berak encer 3 – 4 kali dalam sehari, bila sudah parah akan disertai perdarahan pada hidung dan berak darah 2 – 3 kali sehari.
(3)   Akibat timbulnya keluhan pada anak adalah anak menjadi rewel, nafsu makannya akan menurun, mual dan muntah, susah tidur, badan lemah, bila sudah parah bisa sampai terjadi syok.
b.  Pemeriksaan fisik pada anak.
Selama aspek pengumpulan data, perawat melatih keterampilan persepsual dan observatorial dengan menggunakan indera penglihatan, pendengaran, sentuhan dan penciuman atau biasa dikenal dengan inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi. Inspeksi adalah pengamatan secara seksama terhadap status kesehatan klien, seperti inspeksi adanya lesi pada kulit, dll. Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan jalan mengetukkan jari tengah ke jari tengah lainnya untuk mengetahui normal atau tidaknya suatu organ tubuh. Palpasi adalah jenis pemeriksaan fisik dengan meraba klien. Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop, misalnya auskultasi dinding abdomen untuk mengtahui bising usus. ( Bates : 1998 ).
Adapun pengkajian fisik yang harus dilakukan pada anak dengan DHF ( Suriadi : 2001 ) adalah :
1)      Tanda-tanda vital, biasanya akan mengalami peningkatan terutama suhu tubuh antara 38o – 40o celcius, nadi biasanya cepat atau lambat, dan pernapasan menjadi cepat antara 40 – 60 x/menit.
2)      Wajah anak biasanya pucat akibat dehidrasi, mukosa bibir kering dan pecah-pecah, dan wajah terlihat membengkak.
3)      Mata biasanya mengalami oedem pada palpebra, konjungtiva anemis, dan mata terlihat merah akibat kurang tidur.
4)      Hidung biasanya terjadi perdarahan akibat penanganan yang lambat.
5)      Abdomen, pada saat dilakukan palpasi akan terasa adanya pembesaran pada organ hati dan limpa, anak akan mengalami nyeri pada ulu hati, terjadi iritasi pada lambung, bising usus lemah ( < 5 x menit), turgor kulit kurang.
6)      Rektum, akan terjadi iritasi pada daerah sekitar anus akibat seringnya anak mengalami berak encer.
7)      Ekstremitas, akan terjadi kelemahan akibat kondisi penyakit yang dialami oleh anak, pengisian kapiler pada daerah kuku menjadi lambat ( > 2 detik ).
c.   Kebiasaan Anak Sehari-hari
1)      Pola nutrisi akan mengalami gangguan, anak akan menjadi malas makan dan minum, mual dan muntah, terjadi penurunan berat badan dalam jangka waktu yang cepat.
2)      Pola eliminasi akan mengalami gangguan, terutama pada eliminasi BAB, anak akan mengalami berak encer dan kadang-kadang disertai perdarahan, urin akan disertai dengan pengeluaran protein.
3)      Pola istirahat dan tidur akan mengalami gangguan akibat adanya peningkatan suhu tubuh, anak sering BAB encer dan adanya nyeri pada ulu hati.
4)      Pola aktifitas anak menjadi terganggu, ditandai dengan anak menjadi malas untuk bermain, pemurung, rewel, dan lebih cenderung untuk menyendiri.
5)      Personal hygiene anak mengalami gangguan atau tidak terpenuhi, akibat kelemahan fisik anak.
d.   Pemeriksaan penunjang
1)      Pemeriksaan darah, yang dilakukan adalah pemeriksaan hemoglobin, trombosit, leukosit, uji serologi HI  (Haemagglutination inhibiting antibody), dengue blot. Pada pemeriksaan hemoglobin akan didapatkan nilai < 100.000/ul   (trombositopenia) dan nilai hematokrit > 20 % dari nilai normal  (hemokonsentrasi). Leukosit normal pada 1 – 3 hari pertama, akan menurun pada saat akan terjadi syok dan akan meningkat pada saat syok dapat diatasi. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan hipoprotemia. Uji serologi adalah suatu pemeriksaan dengan mengambil serum pada masa penyembuhan ( 1 – 4 minggu ) setelah gejala awal penyakit, untuk pemeriksaan serologi ini diambil darah vena sebanyak 2 – 4 ml dan pengambilan darah ini dilakukan minimal empat kali.
2)      Pemeriksaan air seni, dilakukan untuk melihat apakah ada albuminuria ringan.
3)      Test tourniquet / rumple leed test, yaitu tes yang dilakukan untuk melihat adanya perdarahan bawah kulit akibat pecahnya trombosit darah dengan kriteria :
( + ) bila jumlah petekhie ≥20
( - ) bila jumlah petekhie 10 – 20
( ± ) bila jumlah petekhie ≤ 20
Dari hasil pengkajian keperawatan, akan didapatkan data-data yang menunjang dalam  pembuatan diagnosa keperawatan yang dikelompokkan dalam data fokus.
e. Pemeriksaan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
         1). Pertumbuhan ( Growth )
Berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat ( gram, pound, kilogram ), ukuran panjang ( cm, meter ), umur tulang, dan keseimbangan metabolik ( retensi kalsium dan nitrogen tubuh ).
Pertumbuhan pada anak sekolah usia 6 tahun
a). Menurut Soetjiningsih ( 1995 )
- Perkiraan berat badan dengan menggunakan rumus :
         BB   =  Umur ( tahun ) x 7 – 5
                                    2
- Tinggi badan   = 1,5 x tinggi badan umur 1 tahun.
-  Gigi    = terdapat erupsi gigi tetap yaitu insisor.
b). Menurut Wong & Whaley ( 1996 )
- Penambahan   tinggi   dan   berat  badan    terus  berlanjut dengan  lambat.
-  Berat badan antara 16 - 23,6 kg ( 35,5 – 58 pound ), dan tinggi badan 106,6 – 123,5 cm ( 42 – 48 inchi ).
-  Gigi seri permanen pada mandibular mulai tumbuh.
-  Kehilangan gigi pertama.
-  Beragsur-angsur terdapat peningkatan kemampuan/keterampilan.
-  Mempunyai aktivitas yang tetap.
-  Sering terjadi anak mengisap jari kembali.
-  Semakin menyadari fungsi tangan sebagai alat.
-  Menyukai menggambar, menulis, dan mewarnai.
-  Kemampuan penglihatan mencapai kematangan.   
         2). Perkembangan ( Development )
Adalah bertambahnya kemampuan ( skill ) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang  sedemikian  rupa sehingga masing-masing dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.
Pertumbuhan pada anak sekolah usia 6 tahun
a). Menurut Wong & Whaley ( 1996 )
        1). Perkembangan Mental
-          Pengembangan pengenalan angka.
-          Dapat menjumlahkan/menghitung uang sebesar 13 sen ( sen dolar ).                       
-          Dapat membedakan pagi dan sore.           
-          Dapat menyebutkan pengertian dan fungsi alat/perlengkapan yang sering digunakan, seperti garpu dan kursi.
-          Mampu menuruti tiga perintah sekaligus yang diberikan secara berurutan.
-          Bisa membedakan tangan kanan dan tangan kiri.
-          Dapat menilai apakah gambar sebuah wajah cantik atau buruk.
-          Mulai memasuki kelas pertama. 
2). Perkembangan Adaptasi
-  Di atas meja makan anak sudah mampu mengoles mentega atau selai pada roti.                          
-          Permainan yang disukai menggunting, melipat, menempel permainan kertas, dan menjahit kasar.
-          Mampu mandi sendiri tanpa pengawasan dan melakukan aktivitas sebelum tidur secara mandiri.
-          Menyukai permainan meja ( table game ), checkers, dan permainan kartu sederhana.
-          Banyak tertawa.                                     
-          Kadang-kadang mencuri uang atau benda-benda yang menarik.
-          Sulit mengakui kesalahan sendiri.
-          Selalu mencoba/menguji kemampuannya.
3). Personal-Sosial
-          Dapat berbagi dan lebih kooperatif.                                               
-          Punya kebutuhan yang besar untuk bermain bersama teman sebayanya. 
-          Akan berusaha menipu untuk menang.
-          Sering bermain kasar.
-          Sering merasa cemburu terhadap saudaranya.
-          Melakukan pekerjaan yang mereka lihat yang dilakukan oleh orang dewasa.
-          Mungkin anak akan bertingkah marah.
-          Menyombongkan diri.
-          Lebih mandiri, kemungkinan termasuk urusan sekolah.
-          Punya cara sendri dalam melakukan sesuatu.
-          Meningkatkan sosialisasi.
b). Perkembangan Psikoseksual ( Sigmun Freud dari Wong & Whaley, 1996 )
-      Anak berada pada fase latent dimana orientasi sosial lebih banyak keluar rumah, anak lebih senang bermain.
-    Pada fase ini terjadi perkembangan intelektual dan sosial.
 -    Banyak teman, punya geng atau peer group.
    Impuls agresivitas lebih terkontrol.
c). Perkembangan Psikososial ( Erik Ericson, 1963 dari Wong & Whaley, 1996)
-    Anak berada pada  fase industri korelasi dengan  inferioritas ( rajin korelasi dengan rendah diri ).
-          Anak dapat membuat atau menyelesaikan tugas/perbuatan ( menghasilkan sesuatu ).
-          Anak siap meninggalkan rumah orang tua dalam waktu terbatas ( di sekolah ).                                                                         
-          Melalui proses pendidikan anak belajar untuk     :                                                                                                     
·         Bersaing ( sifat kompetitif )
·         Sifat kooperatif ( saling memberi dan menerima )
·         Setia kawan, belajar peraturan yang berlaku.
-          Kunci proses sosialisasi guru dan teman sebaya.            
-          Identifikasi bukan pada orang tua atau orang lain, misalnya : anak menyukai gurunya ( lebih patuh dibanding terhadap orang tuanya ).
-          Bila anak tidak dapat mematuhi kebutuhan sesuai standart timbul masalah/gangguan.                                                                                                                                
d.). Perkembangan Kognitif atau Tahap Berkembang Berpikir Logis ( Jean Piaget,1969 dari Wong & Whaley, 1996)
-          Anak berada pada tahap II yaitu pre-operasional ( usia 2-7 tahun )
-          Sensori motorik          preoperasional.
Anak mampu mempergunakan simbol-simbol, kata-kata, mengikat masa lampau, sekarang, yang akan datang.
-          Tingkah laku anak berubah egois.

e). Perkembangan Interpersoal ( Sulivan’s dari Wong & Whaley, 1996 )
-      Anak berada pada tahap Juvenil ( usia 5-6 tahun ).
-      Anak-anak menjadi sosial bersaing, bekerjasama, dan belajar untuk mengawasi tingkah laku dengan kontrol lingkungan.
f). Perkembangan Moral ( Kohlberg dari Wong & Whaley, 1996 )
-      Anak berada pada Stage III yaitu Conventional level ( usia 6-12 tahun ).
-      Dapat membantu orang lain dan diyakini sebagai suatu kebaikan.
-      Menyesuaikan diri terhadap moral secara umum, tingkah laku untuk tampak “ baik “.

2. Diagnosa Keperawatan
Setelah data-data dikelompokkan, kemudian dilanjutkan dengan perumusan diagnosa.
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat, dan pasti tentang masalah klien dan serta penyebabnya yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan ( Carpenito, 2000 ). Sedangkan menurut La Ode Gaffar ( 1997 ), diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual dan potensial.
Menurut Carpenito ( 2000 ) diagnosa keperawatan dapat berjenis aktual, risiko, atau kesejahteraan atau sindrom.
Aktual : menggambarkan   penilaian klinis  yang harus divalidasi perawat karena adanya batasan karakteristik mayor.
Risiko : menggambarkan  penilaian  klinis  dimana individu/kelompok lebih rentan untuk megalami masalah ketimbang orang lain dalam situasi yang sama atau serupa.
Kesejahteraan : penilaian klinis tentang individu, keluarga, atau komunitas dalam transisi dari tingkat kesejahteraan tertentu ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Dan menurut La Ode Gaffar ( 1997 ) diagnosa keperawatan dibedakan atas diagnosa aktual, menggambarkan masalah kesehatan yang sudah ada saat ini atau yang sudah ada saat pengkajian dan diagnosa keperawatan potensial, menggambarkan bahwa masalah yang nyata akan terjadi bila tidak dilakukan intervensi keperawatan.
Menurut Suriadi ( 2001 ), diagnosa keperawatan yang dapat timbul pada klien DHF antara lain                 :
1 Kekurangan  volume cairan  berhubungan  dengan peningkatan permabilitas kapiler, perdarahan, muntah, dan demam.
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.
4. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi anak.
5. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus.
Menurut Ngastiyah ( 1997 ), diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada anak dengan DHF antara lain            :
1.  Kegagalan sirkulasi darah yang berhubungan dengan adanya kebocoran plasma dari pembuluh darah ke dalam jaringan ekstravaskular.
2.  Risiko terjadi perdarahan yang berhubungan dengan adanya trombositopenia.
3.  Gangguan suhu tubuh berhubungan dengan adanya infeksi dengue.
4.  Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan penyakitnya dan akibat tindakan selama dirawat ( pengambilan/pemeriksaan darah secara periodik setiap 4 jam ).
5.  Kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
3. Perencanaan
Sebagai langkah selanjutnya dalam proses keperawatan adalah perencanaan, yaitu penentuan apa yang ingin dilakukan untuk membantu klien. Untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan mengatasi masalah keperawatan. Langkah-langkah perencanaannya adalah :
a.   Membuat Prioritas Urutan Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan diurutkan dengan prioritas tinggi, sedang, dan rendah. Masalah dengan prioritas tinggi mencerminkan situasi yang mengancam hidup ( misalnya bersihan jalan napas ). Masalah dengan prioritas sedang berhubungan dengan situasi yang tidak gawat dan situasi yang tidak mengancam hidup klien ( misalnya personal hygiene klien ). Masalah dengan prioritas rendah berhubungan secara langsung dengan keadaan sakit atau prognosis yang spesifik, misalnya masalah keuangan ( Carpenito,2000 ).
b.   Merumuskan Tujuan dan Kriteria Hasil.
Kriteria hasil adalah hasil intervensi keperawatan dan respon-respon klien yang dapat dicapai, diinginkan oleh klien atau pemberi asuhan, dan dapat dicapai dalam periode waktu yang telah ditentukan. ( Doenges, dkk : 2000 ).
Tujuan yang dittapkan harus sesuai dengan SMART, yaitu spesific ( khusus ), meassurable ( dapat diukur ), acceptable ( dapat diterima ), reality ( nyata ), dan time ( terdapat kriteria waktu ). Kriteria hasil merupakan tujuan kearah mana perawatan kesehatan diarahkan dan merupakan dasar untuk memberikan asuhan keperawatan.
Komponen pernyataan kriteria hasil :
1)      Subyek, menunjukkan siapa yang mencapai kriteria hasil.
2)      Kata kerja yang dapat diukur, menunjukkan tindakan, tingkah laku dan respon dari klien yang dapat dilihat, didengar, dihidu, atau diraba.
3)      Hasil, menunjukkan respon fisiologis, psikologis, dan gaya hidup yang diharapkan dari klien terhadap intervensi.
4)      Kriteria, mengukur kemajuan klien dalam mencapai hasil dan menunjukkan tingkatan kecakapan yang diperlukan untuk menyelesaikan hasil akhir.
5)      Target waktu, menunjukkan periode waktu tertentu yang diinginkan untuk mencapai kriteria hasil, dengan adanya batasan waktu akan membantu perawat dalam mengevaluasi tahap dalam memastikan apakah kritria hasil dapat dicapai dalam periode waktu tertentu.
Dari diagnosa keperawatan yang telah disusun, maka rencana tindakan keperawatan yang dapat disusun menurut Suriadi ( 2001 ) adalah :
1. Kekurangan  volume  cairan berhubungan  dengan   peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah, dan demam.
                      Tujuan        :  Kebutuhan  cairan terpenuhi dengan kriteria mata tidak cekung, membran mukosa tetap lembab, turgor kulit baik, kulit tidak kering, vital sign nadi 85–100 x/mnt, pernapasan 15–25 x/mnt, suhu tubuh axila 35.5–37°C, tekanan darah 95–120/50–70 mmHg, haluaran urine 30–50 ml/jam, kapilari refill < 3 detik ( nilai rujukan normal menurut Tucker, 1999 ).
  Rencana:
1.1.  Observasi tanda–tanda vital paling sedikit setiap empat jam.
Rasional  :  Penurunan  sirkulasi  darah dapat terjadi dari peningkatan kehilangan cairan mengakibatkan hipotensi dan takikardia.
1.2. Monitor tanda–tanda meningkatnya kekurangan cairan : turgor tidak    elastis, ubun–ubun cekung, produksi urin menurun.
Rasional  : Gejala      yang  menunjukkan dehidrasi/hemokonsentrasi.
1.3. Observasi dan catat intake dan output.
Rasional  : Menunjukkan  status  volume sirkulasi, terjadinya/perbaikan perpindahan cairan, dan respon terhadap terapi.
1.4. Berikan hidrasi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Rasional    : Penggantian terhadap kehilangan/defisit.
1.5.     Monitor nilai laboratorium : elektrolit darah, Bj urin, serum   albumin.
Rasional      : Peningkatan      menunjukkan       hemokonsentrasi. Penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan osmotik koloid plasma, mengakibatkan pembentukkan edema.
1.6. Timbang berat badan.
Rasional  : Mengukur keadekuatan penggantian cairan sesuai fungsi ginjal.
1.7. Monitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam.
Rasional    :  Mempertahankan keseimbangan cairan/elektrolit.

2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan   :  Perusi jaringan perifer adekuat dengan kriteria vital sign stabil nadi 85–100 x/mnt, pernapasan 15–25 x/mnt, suhu tubuh axila 35.5–37°C, tekanan darah 95–120/50–70 mmHg, haluaran urine 30–50 ml/jam, kapilari refill < 3 detik.
Rencana    :
2.1. Kaji dan catat tanda–tanda vital ( kualitas dan frekuensi denyut nadi, tekanan darah, dan capilarry refill ).
Rasional  :   Penurunan    sirkulasi    darah    dapat  terjadi  dari peningkatan kehilangan cairan mengakibatkan hipotensi dan takikardia.
2.2. Kaji dan catat sirkulasi pada ekstremitas ( suhu, kelembaban, dan warna ).
Rasional    : Indikator volume sirkulasi/perfusi.
2.3. Nilai   kemungkinan  terjadinya kematian  jaringan  pada ekstremitas seperti dingin, nyeri, pembengkakan kaki.
Rasional  :   Kondisi kulit  dipengaruhi  oleh sirkulasi, nutrisi, dan immobilisasi.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.
Tujuan   :  Kebutuhan nutrisi adekuat dengan kriteria berat badan stabil atau meningkat, asupan nutrisi adekuat.
Rencana :
3.1. Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.
        Rasional    :  Meningkatkan asupan nutrisi anak.
3.2. Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi.
Rasional  :  Menggantikan  kehilangan  vitamin karena malnutrisi/anemia.
3.3. Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tapi sering.
        Rasional    :  Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan.
3.4. Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama.
Rasional  :  Mengawasi  penurunan  berat  badan  atau  efektivitas intervensi nutrisi.
3.5. Pertahankan kebersihan mulut pasien.
Rasional  :   Mulut   yang   bersih   meningkatkan  selera  makan  dan pemasukan oral.
3.6. Jelaskan  pentingnya intake  nutrisi  yang  adekuat untuk penyembuhan penyakit.
        Rasional    :  Meningkatkan motivasi klien untuk makan.
 
4. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi anak.
Tujuan   : Keluarga menunjukkan koping yang adaptif dengan kriteria ekspresi lebih rileks, menetapkan peran orang tua yang diinginkan, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai perawatan kesehatan, dan berpertisipasi dalam perawatan anak pada tingkat yang diinginkan.
    Rencana            :
4.1. Kaji perasaan  dan persepsi orang tua atau anggota keluarga terhadap situasi yang penuh stres.
Rasional    : Mengidentifikasi  masalah  yang  mempengaruhi kemampuan keluarga untuk menghadapi stress.
4.2. Ijinkan orang tua dan keluarga untuk memberikan respon secara panjang lebar, dan identifikasi faktor yang paling mencemaskan keluarga.
Rasional    : Memberikan perasaan empati dan meningkatkan rasa harga diri keluarga bahwa mereka berkompeten untuk mengatasi situasi.
4.3. Identifikasi koping yang biasa digunakan dan seberapa besar keberhasilannya dalam mengatasi keadaan.
Rasional    : Kebanyakan orang telah mengembangkan keterampilan koping efektif yang dapat bermanfaat dalam menghadapi situasi baru.
4.4. Tanyakan kepada keluarga apa yang dapat dilakukan untuk membuat anak/keluarga menjadi lebih baik, dan jika memungkinkan memberikan apa yang diminta oleh anak.
Rasional       : Meningkatkan pemahaman dan membantu anggota keluarga mengatasi masalah secara efektif.
4.5. Penuhi kebutuhan dasar anak, jika anak sangat tergantung dalam melakukan aktivitas sehari–hari, ijinkan hal ini terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama kemudian secara bertahap meningkatkan kemandirian anak dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
 Rasional   : Memberikan  penguatan  kepada anak bahwa ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi situasi.

5. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus.
Tujuan      :  Mempertahankan  suhu  tubuh normal dengan kriteria suhu tubuh aksila 35.5–37.0°C,                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         
Rencana :
5.1. Ukur tanda–tanda vital ( suhu ).
Rasional    : Suhu 38,9°C – 41,1°C, menunjukkan proses penyakit infesius akut.
5.2. Ajarkan keluarga dalam pengukuran suhu.
Rasional    : Melibatkan keluarga dalam program pengobatan.
5.3. Lakukan “ tepid sponge “ ( seka ) dengan air biasa.
Rasional    : Dapat membantu mengurangi demam.
5.4. Tingkatkan intake cairan.
Rasional  :  Cairan  merupakan  salah  satu  termoregulator  dalam tubuh.
5.5. Berikan terapi untuk menurunkan suhu.
Rasional  :  Digunakan  untuk  mengurangi  demam  dengan  aksi sentralnya pada hipotalamus.

Rencana tindakan yang dapat dirumuskan menurut Ngastiyah ( 1997 ) :
1.  Kegagalan sirkulasi darah yang berhubungan dengan adanya kebocoran plasma dari pembuluh darah ke dalam jaringan ekstravaskular.
Tujuan     :  Klien  tidak  mengalami renjatan  dengan kriteria kesadaran composmentis, tidak terjadi perubahan mental, nadi 85–100 x/mnt, pernapasan 15–25 x/mnt, suhu tubuh axila 35.5–37°C, tekanan darah 95–120/50–70 mmHg, haluaran urine 30–50 ml/jam, kapilari refill < 3 detik.
1.1.  Monitor dan catat vital sign ( nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan ) setiap jam.
Rasional    : Memberikan  informasi  tentang derajat/keadekutan perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi.
1.2.  Periksa Ht, Hb, dan trombosit setiap 4 jam atau sesuai permintaan dokter.
Rasional    : Mengidentifikasi  defisiensi  dan kebutuhan pengobatan/respon terhadap terapi.
1.3.  Observasi tanda dan gejala syok, seperti sakit perut yang hebat atau adanya anuria.
Rasional    : Indikator adanya perdarahan gastrointestinal.
1.4.  Kolaborasi dengan dokter bila ditemui tanda dan gejala syok.
Rasional    : Tindakan kolaborasi daalm mengatasi syok.
 
2.  Risiko terjadi perdarahan yang berhubungan dengan adanya trombositopenia.
Tujuan       : Tidak terjadi perdarahan dengan kriteria tidak terdapat petekie, hematemesis, melena, epistaksis, trombosit 200.000–500.000/mm3, hematokrit < 40 %, vital sign nadi 85–100 x/mnt, pernapasan 15–25 x/mnt, suhu tubuh axila 35.5–37°C, tekanan darah 95–120/50–70 mmHg, haluaran urine 30–50 ml/jam, kapilari refill < 3 detik.
Rencana    :
                      2.1.  Observasi vital sign, pengisian kapiler.
Rasional    : Memberikan informasi  tentang  derajat/keadekutan perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi.
2.2.  Catat adanya akral dingin.
Rasional    : Vasokonstriksi menurunkan sirkulasi perifer.
2.3. Catat adanya keluhan perut sakit, klien pucat, adanya melena, hematemesis.
Rasional    : Merupakan tanda dan gejala adanya perdarahan pada gastrointestinal.
2.4.  Catat intake dan output.
Rasional    : Menentukan  jenis  intervensi  yang  diperlukan berdasarkan banyaknya cairan yang keluar.
2.5. Puasakan klien bila terjadi perdarahan gastrointestinal dan mulai dari diit cair kemudian lunak biasa bila kesadaran klien telah membaik.
Rasional    : Gastrointestinal  diistirahatkan  untuk  penyembuhan dan untuk menurunkan kehilangan cairan usus.
2.6. Tingkatkan asupan cairan parenteral.
Rasional    :  Pergantian cairan untuk memperbaiki kehilangan cairan.
2.7. Pasang naso gastrik tube.
Rasional    :  Untuk  membantu  mengeluarkan darah dari lambung.
2.8. Awasi pemeriksaan  laboratorium Hb, Ht, dan trombosit.
Rasional    : Mengidentifikasi   defisiensi   dan  kebutuhan pengobatan/respon terhadap terapi.
2.9. Kolaborasi pemberian transfusi.
Rasional    : Meningkatkan  jumlah  sel  pembawa  oksigen, memperbaiki defisiensi untuk menurunkan risiko perdarahan.

3.  Gangguan suhu tubuh berhubungan dengan adanya infeksi dengue.
Tujuan     :  Suhu tubuh normal dan klien terhindar dari kejang dengan kriteria suhu tubuh aksila 36.5–37.0°C, mukosa bibir merah muda.
Rencana                        :
3.1. Monitor vital sign.
Rasional    : Suhu 38,9°C – 41,1°C, menunjukkan proses penyakit infksius akut.
3.2. Beri kompres
Rasional    : Dapat mengurangi demam.
3.3. Kolaborasi pemberian antipiretik dan antikonvulsan.
Rasional    : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

4.  Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan penyakitnya dan akibat tindakan selama dirawat ( pengambilan/pemeriksaan darah secara periodik setiap 4 jam ).
Tujuan       :  Klien mampu beradaptasi dengan tindakan yang dilakukan dengan kriteria klien tenang saat akan dilakukan tindakan invasif.
Rencana      :
4.1. Usahakan bekerja secara tenang, yakinkan dahulu vena telah didapat baru ditusukkan jarumnya.
Rasional    : Mengurangi penderitaan klien.
4.2. Beri kompres atau trombopob gel pada daerah haematoma.
Rasional    : Mengurangi hematoma.
4.3. Kolaborasi tindakan vena seksi bila pasien sudah kolaps.
Rasional    : Agar tidak terjadi coba-coba dan meninggalkan bekas hematoma di beberapa tempat.

5.  Kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
Tujuan       :  Keluarga mempunyai pengetahuan mengenai penyakit dan bahayanya, keluarga berpartisipasi dalam program pengobatan.
Rencana               :
5.1. Berikan mengenai penjelasan mengenai DHF dan anak segera dibawa ke pelayanan kesehatan.
Rasional        :  Untuk segera mendapatkan pertolongan mencegah komplikasi.
5.2. Berikan minum yang banyak sebelum anak dibawa berobat.
Rasional        :  Mencegah agar anak tidak jatuh ke tingkat dehidrasi yang lebih parah.
5.3. Berikan penjelasan program pengobatan selama di RS seperti pemeriksaan darah yang berulang kali dan dipasang infus lebih dari satu tempat dan bila terjadi hematoma bukan karena bukan kurang terampilnya petugas tetapi karena sifat penyakit ini mudah berdarah, anak harus tetap diberi banyak minum, serta minta orang tua untuk ikut mengawasi jalannya tetesan infus.
Rasional      : Agar keluarga dapat membantu pelaksanaan pengobatan.
5.4.   Penyuluhan kesehatan bagaimana cara pemberantasan nyamuk.
Rasional      :  Membantu  memberantas nyamuk guna memutuskan mata rantai penularan.

4.  Pelaksanaan / Tindakan Keperawatan  
Tindakan keperawatan ( implementasi ) adalah preskripsi untuk perilaku positif yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat sesuai dengan apa yang direncanakan. ( Marillyn E. Doenges, dkk : 2000 )
Komponen tahap implementasi :
a.   Tindakan Keperawatan Mandiri Dilakukan Tanpa Pesanan Dokter.
Tindakan keperawatan mandiri dilakukan oleh perawat. Misalnya menciptakan lingkungan yang tenang, nyaman, mengurangi kebisingan lingkungan, dan membatasi jumlah pengunjung serta lamanya waktu yang dirawat ( Doenges, 2000 ).
b.   Tindakan Keperawatan Kolaboratif.
Tindakan yang dilakukan oleh perawat bila perawat bekerja dengan anggota perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertahan untuk mengatasi masalah klien.
c.  Dokumentasi Tindakan Keperawatan dan Respon Klien Terhadap Tindakan Keperawatan
Dokumentasi merupakan pernyataan dari kejadian atau aktifitas yang otentik dengan mempertahankan catatan yang tertulis, dimana dokumen dapat memberikan bukti rspon klien terhadap tindakan keperawatan dan perubahan-perubahan pada klien.
Dalam melaksanakan tindakan keperawatan pada klien anak dengan  DHF, perawat harus terlebih dahulu menjelaskan kepada orang tua apa yang akan dilakukan dan tujuan dari tindakan yang dilakukan.
5.  EVALUASI
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau perilaku yang dapat diamati dan dipantau untuk menentukan apakah hasilnya sudah tercapai atau belum dalam jangka waktu yang telah ditentukan. ( Marillyn E. Doenges, dkk : 2000 ).
Evaluasi hasil asuhan keperawatan sebagai tahap akhir dari poses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil akhir dan seluruh tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi ini bersifat sumatif, yaitu evalusi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan keperawatan yang telah dilakukan dan disebut juga evaluasi pencapaian jangka panjang.
Ada tiga alternatif dalam menafsirkan hasil evaluasi, yaitu :
a.   Masalah Teratasi
Masalah teratasi apabila klien atau keluarga menunjukkan perubahan tingkah laku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
b.   Masalah Teratasi Sebagian
Masalah sebagian teratasi apabila klien atau keluarga menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
c.   Masalah Belum Teratasi
Masalah belum teratasi apabila klien atau keluarga sama sekali tidak menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul masalah yang baru.
Hasil yang diharapkan dari tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien anak dengan  DHF adalah diharapkan suhu tubuh tidak mengalami peningkatan, tidak terjadi perdarahan selama perawatan, nutrisi tidak mengalami gangguan atau kembali normal, tidak terjadi dehidrasi pada anak, dan orangtua / keluarga menunjukkan pengertian dan dapat bekerjasama dalam program pengobatan anak setelah dilakukan penyuluhan kesehatan.










DAFTAR PUSTAKA


Doengoes Marilynn E. 1995. Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan Edisi 2. jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Depdikbud. 2000. Ejaan Yang Dibenarkan. Jakarta : Balai Pustaka.

Effendy Christanti. 1995. Perawatan Pasien DHF. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Gaffar La Ode Jumadi. 1993. Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Margatan Arcole. 1996. Mewaspadai Demam Berdarah. Solo : CV. Aneka.

Priharjo Robert. 1996. Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta : EGC.

Rampengan T. H. 1997. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Soedarto. 1996. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta : Widya Medika

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.