Daftar Blog Saya

Minggu, 24 Juli 2011

askep cidera kepala (CKR)


A.  Konsep Dasar Penyakit

1.       Pengertian
Cedera kepala adalah gangguan traumatik pada daerah kepala yang menggangu fungsi otak dengan atau menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma keras (Sylvia A. Price, 1995).
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang mengelilingi. Tanpa perlindingan ini otak yang lembut mudah sekali cedera dan mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi individu, beberapa disebabkan oleh cedera dan sebagian akibat sekunder dari cedera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meningen. Ke tiga lapisan meningen adalah duramater, arachnoid dan piamater. Masing – masing mempunyai fungsi tersendiri. Duramater adalah membran luar yang liat, semitransluten dan tidak elastis. Fungsi duramater (1) Melindungi otak, (2) Menutupi sinus – sinus vena yang terdiri atas duramater dan lapisan endothelial saja tanpa jaringan vaskuler, (3) Membentuk periosteum tubula interna. Duramater berhubungan erat dengan permukaan dalam tengkorak.Arachnoid adalah membran yang tidak melekat pada duramater tetapi ruangan antara duramater dan arachnoid adalah ruangan subdural. Subdural adalah ruangan yang potensial perdarahan. Antara duramater dengan arachnoid (Ruang Subdural) menyebar dengan bebas hanya dibatasi oleh sawar (barrier) dari falx cerebri dan tentorium. Vena – vena otak yang melewati ruangan ini hanya memiliki sedikit vena – vena otak yang melewati ruangan ini hanya memiliki sedikit penyangga oleh karena mudah cedera dan robek oleh cedera kepala. Diantara arachnoid dan piamater adalah ruangan sub arachnoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempatnya dan mengalir sirkulasi cairan cerebro spinalis pada sinus sagitalis superior dan transversal, membentuk tonjolan villus yang bertindak sebagai lintas cairan serebro spinalis untuk mengalir ke dalam system vena. Piamater adalah membran lunak sekali yang banyak disuplai oleh pembuluh darah halus.
Berdasarkan patofisiologinya, cedera kepala dibagi :
a.        Komosio serebri
Pada keadaan ini tidak ada jaringan otak yang rusak tetapi hanya kehilangan fungsi otak sesaat berupa pingsan kurang dari 10 menit atau  amnesia pasca trauma
b.       Kontusio serebri
Kerusakan jaringan otak dengan defisit neurologik yang timbul setara dengan kerusakan otak tersebut, minimal pingsan lebih dari 10 menit dan atau lesi neurologik yang jelas
c.        Laserasi otak
Kerusakan otak yang luas dan jaringan otak robek yang umumnya disertai fraktur tengkorak terbuka.
Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam rangka “ triage “ maka lebih realistis bila pembagian berdasarkan tingkat kesadaran meskipun terdapat beberapa kekurangan yaitu :
1.      Cedera Kepala Berat (GCS : 3-8)
2.      Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)
3.      Cedera Kepala Ringan (GCS : 13-15)
4.      Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala berat.
Pembagian cedera kepala lain adalah berdasarkan ICD IX ditambah dengan cedera kepala otak dan fraktur tengkorak.
Klasifikasi yang banyak dipakai yang berdasarkan lokasi lesi :
a.        Lesi difus
Kerusakan akibat proses cedera akselerasi / deselerasi yang merusak sebagian besar akson di susunan saraf pusat akibat regangan.
b.       Lesi akibat kerusakan vaskuler otak (vascular brain damage)
Disebabkan oleh lesi sekunder iskemis terutama akibat hipoperfusi dan hipoksia yang dapat terjadi waktu dalam perjalanan ke RS atau selama perawatan.
c.        Lesi Fokal
1)     Kontusio dan laserasi otak
Disebut kontusio bila pia-subarachnoid atau epidural di luar pembuluh darah meningen atau cabang-cabang yang pecah. Perdarahan intraduraldapat beruapa subarachnoid, intra cerebral atau intraserebellum.

2.      Etiologi
a.    Kecelakaan lalu lintas
b.   Kecelakaan rumah tangga
c.    Kecelakaan kerja.

3.      Patofisiogi
Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera kepala yang terjadi ; proses cedera kepala dibagi :
a.    Proses primer : ini adalah kerusakan otak tahap pertama / awal yang diakibatkan oleh benturan / proses mekanis yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kekuatannya, benturan dan arahnya, kondisi kepala yang bergerak / diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam rongga tengkorak / otak, robekan dan regangan serabut saraf  dan kematian langsung neuron pada daerah yang terkena.
b.   Proses sekunder : Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berlanjut, iskemia / global otak, kejang, hipertermia.
Mungkin juga kerusakan primer menyebabkan perubahan sistemik seperti hipertensi atau hipotensi sistemik. Hal ini sangat penting adalah bahwa jika klien masih hidup pada benturan pertama, proses sekunder yang dapat menyebabkan kematian pada saat berikutnya.
Proses terjadinya trauma otak sekunder melalui beberapa proses :
1)     Kerusakan otak berlanjut (Progressive Injury)
Yaitu terjadi kerusakan berlanjut yang progresif pada daerah otak yang rusak dan sekitarnya melalui 3 proses :
a)      Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel – sel  dan sitoskeletonnya yang dapat berakibat
(1)   Edema sitotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel glia
(2)   Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pompa kalsium mengenai semua jenis sel
(3)   Inhibisi dari sintesis protein intraseluler.
b)      Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparalysis disfungsi membran kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini tampak jauh sludging dari sel – sel darah merah dan trombosit. Pada keadaan ini sawar darah otak menjadi rusak.
c)      Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekhiae otak yang kemudian membekas akibat proses kompresi local dari hematoma multi petekhiae. Ini menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intra kranial.
2)     Cedera otak sekunder berlanjut (Delayed Secondary Brain Injury)
Penyebabnya adalah :
a)     Intrakranial : Karena peningkatan tekanan intrakranial secara berangsur – angsur dimana suatu saat terjadi toleransi maksimal dari otak sehingga perfusi otak tak cukup lagi untuk mempertahankan integritas neuron disusul oleh hipoksia / hipoksemia otak dengan kematian karena herniasi, kenaikan tekanan intrakranial ini juga akibat hematoma berlanjut (progresif), hematoma epidural, sebab intrakranial lain adalah kejang–kejang yang dapat menyebabkan asidosis dan vasospasme / vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi.
b)     Sistemik : Perubahan sistemik akan sangat mempengaruhi tekanan intrakranial. Hipotensi dapat menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia global. Penyebab gangguan sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai nine deadly H’S yaitu : hipotensi, hipokapnea, hiperglikemia, hiperkapnea, hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremi dan hipoproteinemia.



Dampak Cedera Kepala terhadap berbagai system tubuh antara lain :
d.   Faktor pernafasan
Hipertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokonstriksi paru, hipertensi paru, dan edema paru. Hal ini menyebabkan hiperkapnea dan bronkokonstriksi. Sensitifitas yang meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan periode setelah hiperventilasi akan menyebabkan pernafasan cheyne stokes.
e.    Faktor kardiovaskuler
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktifitas atycikal myocardial, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel / perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium dan ventrikel takikardia. Perubahan aktifitas miokardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan atrium kiri sehingga terjadi edema paru.
f.    Faktor Gastrointestinal
Setelah Cedera Kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus vagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidikum. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani edema cerebral. Hiperacidicum terjadi karena adanya peningkatan katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung.
g.   Faktor Metabolisme
Cedera Kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada traumatubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta hilangnya hilangnya sejumlah nitrogen.
Cedera mengakibatkan pelepasan ADH sehingga terjadi retensi cairan sehingga  urine output sedikit dan meningkatnya konsentrasi elektrolit.
Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hipotalamus yang dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya retensi Na+. Pada pasca cedera terjadi hiponatremia.
Hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respons metabolic terhadap cedera, karena dengan adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk menangani perubahan seluruh system tetapi makanan yang masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama demikian pula respon hipotalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol. Hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis metabolic karena adanya metabolisme anaerob glukosa.

4.       Tanda Dan Gejala
a.      Nyeri kepala
b.     Mual, muntah
c.      Keluar liquor dari telinga
d.     Keluar darah dari hidung
e.      Brill Hematoma
f.      Kesadaran menurun
g.     Pingsan

5.       Pemeriksaan Diagnostik
a.       Angiografi
b.      CT Scan
c.       X-Ray Tengkorak
d.      EEG
e.       GDA
f.       Elektrolit.




6.       Penatalaksanaan
Penatalaksanaan klien cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera, dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal penatalaksanaan tersebut dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari perawat yang terlatih dokter spesialis saraf dan bedah saraf, radiology,anastesi, dan rehabilitasi medik.
Klien dengan cedera kepala harus dipantau terus dari tempat kecelakaan, selama transportasi : di ruang gawat darurat, kamar radiology, ruang perawatan atau ICU sebab sewaktu – waktu bisa berubah akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Menurut prioritas tindakan pada cedera kepala ditentukan berdasarkan beratnya cedera yang didasarkan atas kesadaran pada saat diperiksa.
a.       Klien dalam keadaan sadar (GCS : 15)
1)      Cedera Kepala Simpleks (Simple Head Injury)
Klien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, amnesia maupun gejala serebral lainnya. Pada klien demikian dilakukan perawatan luka, periksa radiologi hanya atas indikasi. Kepada keluarga diminta untuk mengobservasi kesadaran.
2)      Kesadaran terganggu sesaat
Klien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan saat diperiksa sudah sadar kembali, maka dilakukan pemeriksaan foto kepala dan penatalaksanaan selanjutnya seperti cedera kepala simpleks.
b.      Klien dengan kesadaran menurun
1)      Cedera Kepala Ringan / Minor Head Injury (GCS : 13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatan luka, dilakukan foto kepala. CT Scan kepala dilakukan jika dicurigai adanya hematoma intrakranial, misalnya ada riwayat interval lusid, pada follow up kesadaran semakin menurun atau timbul lateralisasi, observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral di samping tanda – tanda vital
2)      Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)
Klien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner oleh karena itu urutan tindakannya :
a)      Periksa dan atasi gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
b)      Periksa kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain.
c)      Foto kepala dan bila perlu bagian tubuh lain
d)     CT Scan bila dicurigai adanya hematoma intrakranial.



3)      Cedera Kepala Berat  (GCS : 3-8)
Klien cedera kepala biasanya disertai oleh cedera multipel, oleh karena itu di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Urutan tindakan menurut prioritas adalah :
a)      Resusitasi Jantung Paru (Air way, Breathing, Circulation)
b)      Pemeriksaan fisik :
Setelah resusitasi ABC, pemeriksaan fisik kesadaran, pupil, defisit fokal dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan adalah sebagai dasar follow up, penurunan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan timbulnya kerusakan sekunder dan harus dicari penyebabnya dan diatasi.
c)      Pemeriksaan Radiologi rontgen kepala, leher dan CT Scan.
d)     Pemeriksaan Tekanan Intra Kranial  meningkat.
Peningkatan Tekanan Intra Kranial terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematoma intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengatur turun naiknya tekanan intrakranial sebikny dipasang monitor tekanan intrakranial. Tekanan Intra Kranial di atas 20 mmHg harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut :
q  Hiperventilasi
                                    Dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol
q  Drainage cairan serebrospinal
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil diturunkan untuk jangka pendek. Perlu dilakukan drainage ventrikuler, sedangkan jangka panjang dipasang VP-Shunt misalnya terjadi pada hidrosefalus
q   Terapi diuretik
§ Diuretik osmotic (mannitol 20)
§ Loop diuretic (furosemide)
q   Terapi Barbiturat (Phenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus yang tidak responsif terhadap terapi di atas.
Cara pemberian : Bolus 10 mg / kg BB IV selama ½ jam dilanjutkan 2 – 3 mg / kg BB IV selama 3 jam, lalu 1 mg / kg BB / jam setelah TIK terkontrol < 20 mmHg. Kemudian diturunkan secara bertahap selama 3 hari.
q   Steroid
Berkhasiat mengurangi edema serebri pada tumor otak tetapi pada cedera kepala belum terbukti
q   Posisi tidur
Klien cedera kepala posisi tidurnya bagian kepala ditinggikan 20-30° dengan dada dan kepala pada satu bidang. Jangan fleksi atau latero fleksi, supaya vena leher tidak terjepit sehingga drainage vena otak menjadi lancar.

e)      Keseimbangan cairan dan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambah edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 cc / hari diberikan secara parenteral. Sebaiknya diberikan cairan koloid seperti NaCl 0,9 %, Ringer Laktat. Jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa karena akan menambah edema otak.
f)       Nutrisi
Pada Cedera Kepala Berat terjadi hipermetabolisme 2-2 ½ kali pada keadaan normal. Setelah 3-4 hari dengan cairan parenteral, pemberian cairan nutrisi per oral melaui pipa Nasogastrik bisa dimulai sebanyak 2000-3000 Kal / hari.
g)      Epilepsi
Kejang pertama beri fenitoin 200 mg oral dilanjutkan 3-4 x 100 mg / hari. Pada status epileptikus diberikan diazepam 10 mg IV dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung berulang, berikan diazepam 50 – 100 mg / drip 500 cc NaCl 0.9 % dengan tetesan 40 mg / jam.
h)      Neuro proteksi
Adanya tenggang waktu antara kejadian cedera dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf memberikan waktu untuk memberikan neuro proteksi antara lain sitikolin, piracetam, dan lain – lain.
7.       Komplikasi
a.       Meningitis
b.      Encephalitis
c.       Epilepsi
d.      Hidrosefalus
e.       Cephalgia Post Trauma.

B.    Asuhan Keperawatan
Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif. Dengan demikian pola asuhan keperawatan yang tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai dari pengkajian yang diambil adalah merupakan respons klien, baik respon biopsikososial maupun spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan perawatan untuk menuntun tindakan perawatan. Dan untuk menilai keadaan klien, diperlukan suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan rencana perawatan klien dengan cedera.
1.     Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses keperawatan secara keseluruhan. Pada tahap ini semua data dan informasi tentang klien yang dibutuhkan dikumpulkan dan dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan. Tujuan dari pengkajian keperawatan adalah pengumpulan data, mengelompokkan data dan menganalisa data, sehingga ditemukan diagnosa keperawatan.
Adapun pengkajian pada klien dengan trauma kepala (Marlyn E. Doenges. 2000) adalah :
a.       Aktivitas / Istirahat
Data Subjektif       : adanya kelemahan/kelelahan
Data Objektif        : kesadaran menurun, lethargi/kelesuan, hemiparese, hilang keseimbangan, adanya trauma tulang, kelemahan otot/spasme.
b.      Peredaran Darah
Data Objektif        : tekanan darah tinggi/hypertensi, denyut nadi (brachialis, tachycardi, dysrhitmia).
c.       Integritas Ego
Data subjektif : cemas
Data objektif : tampak bingung, mudah tersinggung
Data
d.      Eliminasi
Data Subjektif       : verbal tidak dapat menahan buang air kecil dan buang air besar.
Data Objektif        : incontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
e.       Makanan / Cairan
Data Subjektif       : mual
Data Objektif        : muntah yang memancar/proyektif, masalah kesukaran menelan (batuk, air liur yang berlebihan, sukar makan).

f.       Persyarafan
Subjektif               : pusing, kejang, adanya kehilangan kesadaran, masalah penglihatan, bunyi berdengung ditelinga.
Data Objektif        : kesadaran menurun, coma, perubahan status mental (perubahan orientasi, respon, pemecahan masalah), perubahan penglihatan (respon terhadap cahaya, simetris/tidak), kehilangan sensitifitas (bau, rasa, dengar), wajah tidak simetris, tidak ada repleks tendon, hemiparise, adanya perdarahan mata, hidung, kejang.
g.      Kenyamanan / Nyeri
Data Subjektif      : nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan lokasinya.
Data Objektif        : respon menarik diri terhadap rangsangan, wajah mengerut, kelelahan, merintih.
h.      Pernapasan
Data Objektif        : perubahan pola napas (periode apnoe dengan perubahan hyerventilasi), wheezing, stridor dan ronchi.
i.        Keamanan
Data  Subjektif      : ada riwayat kecelakaan.
Data objektif         : terdapat trauma/fraktur/dislokasi, perubahan penglihatan, kulit (kepala/wajah mengalami luka, abrasi, warna), keluar darah dari telinga dan hidung.
j.        Konsep Diri
Data Subjektif       : adanya perubahan tingkah laku.
Data Objektif        : kecemasan, berdebar-debar, bingung, delirium, interaksi sosial.
k.      Interaksi Sosial
Data Objektif        : afasis/disartria (gangguan mengartikan pembicaraan orang lain).

2.   Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik klien serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (NANDA, 1990).
Diagnosa keperawatan pada klien dengan cedera kepala (Marilynn E. Doenges, 2000) meliputi :
a. Potensial atau aktual tidak efektifnya jalan napas berhubungan dengan :
1.      Gangguan/kerusakan pusat pernapasan dimedulla oblongata.
2.      Adanya obstruksi trakeobronkial.
b.   Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan :
1.        Adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.
2.        Kelainan sirkulasi seroborbital.
3.        Vasodilatasi pembuluh darah otak akibat asidosis metabolik.
c.   Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terinfeksinya hipotalamus.
d.  Aktual atau potensial terjadinya gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan :
1.        Berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran.
2.        Melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan.
3.        Hipermetabolik.
4.        Perubahan kemampuan untuk mencerna makanan.
e.   Perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan :
1.        Immobilisasi, aturan therafy untuk tirah baring.
2.        Menurunnya kekuatan/kemampuan motorik.
f.    Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan :
1.        Menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis)
2.        Penurunan daya penangkapan sensoris.
g.   Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan :
1.         Masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak.
2.         Kekurangan nutrisi.
h.   Gangguan rasa nyaman (pada klien yang tingkat kesadarannya sudah pulih, GCS = 15 ) nyeri kepala, pusing dan vertigo disebabkan  karena kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial.
i.     Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau deficit neurologis.
j.     Gangguan rasa aman, cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi krisis.

3.    Perencanaan
Perencanaan adalah langkah awal dalam menentukan apa yang dilakukan untuk membantu klien dalam memenuhi serta mengatasi masalah keperawatan yang telah ditentukan. Tahap perencanaan keperawatan adalah menentukan prioritas diagnosa keperawatan, penetapan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi keperawatan. Rencana tindakan keperawatan yang disusun pada klien dengan cedera kepala (Marilynn E. Doenges, 2000) adalah sebagai berikut :
a.       Diagnosa keperawatan pertama : potensial atau aktual tidak efektifnya jalan napas berhubungan dengan gangguan/kerusakan pusat pernapasan di medula oblongata.
1)      Tujuan; jalan efektif.
2)      Kriteria hasil pola napas dalam batas normal frekuensi 14 – 20 x/menit dan iramanya teratur, tidak ada stridor, ronchi dan wheezing, gerakan dada simetris tidak ada retraksi, nilai AGD normal, Ph 7,35 - 7,45, PaO2 80 - 100 mmHg, PaCO2 35 - 45 mmHg.
3)      Intervensi;
a)     Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama dan bunyi napas.
Rasional : perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan luasnya keterlibatan otak.
b)     Atur posisi klien dengan posisi semi fowler (15o – 45o).
Rasional : untuk memudahkan ekspansi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan bau sekret. Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan dural.
Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika klien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat memberikan jalan napasnya sendiri.
c)     Anjurkan klien latihan napas dalam apabila sudah sadar.
Rasional : Mencegah / menurunkan atelektasis
d)       Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian  therafy.
Rasional : untuk mencegah terjadinya komplikasi
b.      Diagnosa Keperawatan Kedua : Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.
1)      Tujuan; Peningkatan tekanan intrakranial tidak terjadi.
2)      Kriteria hasil; Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti tekanan darah meningkat, pupil melebar, kesadaran tambah buruk, nilai GCS<15.
3)      Intervensi;
a)      Kaji status status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda TIK; terutama GCS.
Rasional : mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
b)     Monitor tanda-tanda vital setiap jam sampai keadaan klien stabil.
Rasional : normalnya autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada sat ada fluktuasi tekanan darah sistemik.
c)Naikkan kepala dengan sudut 15o-45o tanpa bantal dan posisi netral.
Rasional : meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema.
d)     Monitor asupan setiap delapan jam sekali.
Rasional : pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk menurunkan edema serebral.
e)Kolaborasi dengan  tim medis dalam pemberian obat-obatan  anti edema seperti manitol, gliserol dan lasix.
Rasional : dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
f)      Berikan oksigen sesuai program terapy.
Rasional : menurunkan hipoksemia yang dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
c.       Diagnosa Keperawatan Ketiga : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terinfeksinya hipotalamus.
1)      Tujuan; cairan elektrolit tubuh seimbang.
2)      Kriteria hasil; asupan dan pengeluaran seimbang yaitu asupan cairan selama 24 jam satu sampai dua liter dan pengeluaran urine satu sampai dua cc/kgBB/jam, turgor kulit lain, nilai elektrolit tubuh dalam batas normal.
3)      Intervensi;
a)      Monitor asupan tiap delapan jam sekali dan timbang berat badan setiap hari bila dapat dilakukan.
Rasional : indikator langsung dari hidresi/perfusi organ dan fungsi, memberikan pedoman untuk penggantian cairan.
b)      Berikan cairan setiap hari tidak boleh lebih dari 2000 cc.
Rasional : mempertahankan volume sirkulasi dan keseimbangan elektrolit.
c)      Pasang dawer cateter dan monitor warna, bau dan aliran urine.
Rasional : untuk memudahkan pengukuran pengeluaran.
d)     Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian lasix.
Rasional : dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan udema otak dan TIK.
e)      Kolaborasi dengan analis untuk pemeriksaan lab.
Rasional : menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
d.      Diagnosa Keperawatan Keempat : aktual atau potensial terjadinya gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran
1)      Tujuan; kekurangan nutrisi tidak terjadi.
2)      Kreteria hasil BB klien normal, tanda-tanda malnutrisi tidak ada, Hb tidak kurang dari 10 gr%.
3)      Intervensi;
a)      Kaji kemampuan mengunyah, menelan, reflek batuk dan pengeluaran sekret.
Rasional : kelemahan otot dan refleks yang hipoaktif / hiperaktif dapat mengidentifikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif.
b)      Auskultasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan bising usus.
Rasional : kelemahan otot dan hilangnya peristaltik usus merupakan tanda bahwa fungsi defekasi hilang yang kemudian berhubungan dengan kehilangan persyarafan parasimpatik usus besar dengan tiba-tiba.
c)      Timbang berat badan.
Rasional : mengkaji keefektifan aturan diet.
d)     Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering baik melalui NGT maupun oral.
Rasional : dapat diberikan jika klien tidak mampu untuk menelan.
e)      Tinggikan kepala klien ketika makan dan buat posisi miring dan netral setelah makan.
Rasional : latihan sedang membantu dalam mempertahankan tonus otot / berat badan dan melawan depresi.
f)       Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan untuk pemeriksaan HB, Albumin, protein total dan globulin.
Rasional : pengobatan masalah dasar tidak terjadi tanpa perbaikan status nutrisi.
e.       Diagnosa Keperawatan Kelima : perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan immobilisasi, aturan therafy untuk tirah baring
1)      Tujuan; mampu melakukan aktivitas fisik, tidak terjadi komplikasi dekubitus dan kontraksi sendi.
2)      Kriteria; klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut dan gerak, mampu melakukan aktivitas ringan pada tahap rehabilitasi sesuai dengan kemampuan.
3)      Intervensi;
a)      Kaji kemampuan mobilisasi.
Rasional : dapat mengidentifikasi tingkat ketergantungan klien.
b)      Atur posisi klien dan ubahlah secara teratur tiap dua jam sekali bila tidak ada kejang.
Rasional : perubahan posisi secara teratur dapat meningkatkan dan mencegah adanya penekanan pada organ yang menonjol.
c)      Bantu klien dalam gerakan-gerakan kecil secara pasif apabila kesadaran menurun dan secara aktif bila klien kooperatif.
Rasional : mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus otak.
d)     Observasi/kaji kemampuan gerakan motorik, keseimbangan, koordinasi gerakan dan tonus otot.
Rasional : mengidentifikasi kekuatan / kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan.
e)      Lakukan massage, perawatan kulit dan jaga kebersihan alat tenun.
Rasional : meningkatkan sirkulasi intensitas kulit dan integritas kulit.
f)       Berikan motivasi dan latihan pada klien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
Rasional : meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur.
g)      Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain (fisioterafy).
Rasional : program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti / menjaga kekurangan  tersebut dalam keseimbangan, koordinasi dan kekuatan.
f.       Diagnosa Keperawatan Keenam : gangguan persepsi sensori berhubungan dengan menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis).
1)      Tujuan; mengembalikan persepsi sensoris/normal dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi.
2)      Kriteria hasil; tingkat kesadaran normal, fungsi alat-alat indra baik, klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
3)      Intervensi;
a)       Kaji respon sensoris terhadap raba/sentuhan, panas atau dingin, tajam dan tumpul dan catat perubahan-perubahan yang terjadi.
Rasional : informasi penting untuk keamanan klien
b)      Kaji persepsi klien, beri umpan balik dan koreksi kemampuan klien berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
Rasional : membantu klien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan persepsi.
c)       Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai kembalinya fungsi persepsi yang maksimal.
Rasional : pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat untuk menstimulasi klien koma dengan baik selama melatih kembali fungsi kognitifnya.
d)      Berbicaralah dengan klien tenang, lembut dan menggunakan kalimat yang sederhana.
Rasional : menurunkan frustasi yang berhubungan dengan perubahan kemampuan / pola respons yang memanjang.
e)       Berikan pengamanan klien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari cedera.
Rasional : agitasi, gangguan pengambilan keputusan, gangguan keseimbangan dan penurunan sensorik meningkatkan resiko terjadinya trauma pada klien.
g.   Diagnosa Keperawatan Ketujuh : potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak.
1)      Tujuan; tidak terjadi infeksi baru.
2)      Kriteria hasil; tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi, pus di daerah kulit yang rusak.
3)      Intervensi;
a)       Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan secara septik dan aseptik.
Rasional : cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nasokomial.
b)       Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran.
Rasional : dapat mengidentifikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
c)       Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotik.
Rasional : terapi profitaktik dapat digunakan pada klien yang mengalami trauma untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nasokomial.
h. Diagnosa Keperawatan Kedelapan : gangguan rasa nyaman, nyeri kepala berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak / peningkatan TIK.
1)      Tujuan; rasa nyaman terpenuhi
2)      Kriteria hasil; klien tenang, tidak gelisah, nyeri kepala, pusing dan vertigo hilang.
3)      Intervensi;
a)        Kaji mengenai lokasi, intensitas, penyebaran nyeri.
Rasional : nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh klien.
b)       Ajarkan latihan tehnik relaksasi.
Rasional : pemikiran negatif dapat meningkatkan ketegangan yang meningkatkan nyeri dan sakit kepala yang menimbulkan keadaan yang lebih tidak dapat ditoleransi lagi.

c)        Buat posisi kepala lebih tinggi.
Rasional : meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
d)       Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan dari luar dan lakukan massage daerah punggung, kaki, dll.
Rasional : dapat diidikasikan untuk menghilangkan nyeri dan dapat berakibat negatif pada  TIK tetapi harus digunakan dengan hati-hati untuk mencegah gangguan pernapasan.
e)        Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgetik.
Rasional : untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri.
i.    Diagnosa Keperawatan Kesembilan : perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau defisit neurologis.
1)      Tujuan; Kemampuan berfikir klien dapat kembali normal.
2)      Kreteria; klien dapat menerima/berorientasi terhadap kenyataan, klien mau berperan serta dalam latihan dan perawatan.
3)      Intervensi;
a)         Kaji kemampuan berfikir dengan menanyakan nama dan orientasi terhadap lingkungan sekitar.
Rasional : fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi.
b)        Kaji perhatian dan cara klien mengalihkan perhatiannya dan catat tingkat cemas.
 Rasional : respons individu mungkin berubah-ubah namun umumnya seperti emosi yang labil, frustasi, apatis dan muncul tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan dari trauma kepala.
c)         Berikan penjelasan pada keluarga/klien tentang perubahan berfikir klien dan rencana keperawatan.
      Rasional : membantu klien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan persepsi.
d)        Ajarkan tehnik relaksasi, jangan berikan tantangan berfikir keras dan beri aktivitas sesuai kemampuan.
Rasional : menurunkan frustasi yang berhubungan dengan perubahan kemampuan pola respon yang menunjang
j.        DiagnosaKeperawatan Kesepuluh : gangguan rasa aman, cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi krisis.
1)      Tujuan; rasa aman keluarga terpenuhi.
2)      Kriteria hasil; keluarga menyadari dan menerima musibah, mampu mengekspresikan perasaan, mempunyai rasa optimis terhadap kesembuhan klien.
3)      Intervensi;
a)         Kaji perasaan keluarga dan beri rasa empati serta dengarkan seluruh keluhan.
Rasional : membuat kepercayaan dan menurunkan kesalahan persepsi / salah interpretasi terhadap informasi.
b)      Berikan penjelasan pada keluarga mengenai kondisi, luasnya trauma, rencana perawatan dan prognosa secara akurat dan memperhatikan kondisi dan situasi.
Rasional : dapat membantu memperbaiki beberapa perasaan kontrol / kemandirian pada klien yang merasa tak berdaya  dalam menerima diagnosa dan pengobatan.

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan keperawatan merupakan tahapan pemberian tindakan keperawatan untuk mengatasi permasalahan penderita secara terarah dan komprehnsif, berdasarkan rencana tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Perencanaan keperawatan dikembangkan untuk memenuhi pengurangan nyeri, mencegah decubitus, mengurangi kerusakan sel, membantu klien/keluarga untuk beradaptasi dengan penyakitnya.

5. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh perawat. Evaluasi diharapkan pada setiap tindakan, masalah dapat teratasi seluruhnya sesuai dengan tujuan, kriteria hasil dari waktu yang telah ditentukan dalam rencana tindakan.
Apabila masalah masih teratasi sebagian, maka perawat harus melanjutkan intervensi yang ada dan bila perlu ditambahkan intervensi baru sesuai dengan kondisi klien. Sebaliknya jika telah teratasi seluruhnya maka perawat harus memperhatikan kondisi klien yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar